Katakberkaki tiga Pada permulaan, rasa dingin panas yang saling bergantian secara mendadak itu, benar-benar menyiksa Siau-liong. Tetapi lama kelamaan ia menjadi kebal. Dan anehnya, rasa sakit dalam tubuhnya pun lenyap. Pelahan-lahan pikirannya pun tenang kembali. Ia merasa dalam waktu sejam itu telah mengalami perobahan besar sekali. Untukterakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro Download Cerita Silat Wiro Sableng 212 Literatur Fiksi silat karya A Literatur Fiksi silat karya A. Jagal Iblis Makam setan Ku Tunggu di Pintu Neraka: 70 " katanya sambil membungkuk sopan Cerita Silat : Pendekar Super Sakti [Kho Ping Ho] 7, Gudang Cersil [Cerita Silat], Cerita KitabSakti Naga Kuno Gu Long Cin Keng Cerita Silat. 1 / 60. GAMBAR JURUS JURUS PERISAI DIRI Perisai Diri Maluku. Jurus Dan Gerakan Cimande PUSAKA MANGGALA YouTube. Jurus 5 Jurus Indah Dalam Pencak Silat Khas. Blog Kanuragan Extrem LATIHAN JURUS JURUS TENAGA DALAM 3. Serial Pendekar Sakti Bupunsu 3 Raja Pedang Jilid 007. Jenis Senjata Dan Macam DaftarLengkap Cerita Silat Karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan penulis Indonesia lainnya (serial maupun judul lepas) yang bisa Anda beli dalam bentuk buku cetak untuk koleksi. Daftar ini ditulis karena ada beberapa dari Anda yang memintanya, meskipun di dalam halaman fanpage di tab (kotak kecil) notes sudah Saya tuliskan. BuKek Kang Sinkang -- Goresan di Sehelai Daun -- Mustika Kemala Pelangi -- Nilai Lebih dan Keindahan Cerita Silat -- Tokoh Tokoh Dunia Persilatan -- Bedah Karakter Kreasi Gu Long -- Kitab Sakti Naga Kuno (Gu Long Cin Keng) -- Usia, Faktor Penentu Selera dalam Memilih Cersil. Proyek keroyokkan: Gambar di Langit Kamar: Sebuah Kerangka di dalam Gua. Kkabehdikenal dengan karya perdananya BKKSK atau Bu Kek Kang Sinkang, suatu cerita silat yang dipublikasikan di Serial Silat dan Indozone. Ada yang menjuluki ia sebagai murid Khu Lung karena rumitnya jalan cerita yang ditulisnya. Saat ini kelanjutan dari BKKSK yaitu Goresan di Sehelai Daun sedang ditulisnya, sembari mengoreksi BKKSK yang diberitakan akan diterbitkan tak lama lagi. Karya-karya Search Cerita Silat Penginapan Pintu Naga. Djatilaksana (1) SD Liong (18) Siau Dji (1) Siauw Seng (2) Sin Liong (1) So Tat Kie (1) Suparto Brata (1) T Karena pada dasarnya ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang Wiro adalah seorang pendekar dengan senjata Kapak Maut Naga Geni 212 dan memiliki rajah "212" di dadanya Cerita silat Tangan Geledek (Pek-lui-eng) mengisahkan Sipemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai! 9 Kakak Rajawali - ROCH. ini adalah binatang yang paling terkenal di karya om Jin Yong, yang melatih Yang Guo (yoko) bertangan satu menjadi pendekar rajawali yang kuat, dengan bantuan pedang besi berat dan berlatih di air terjun, menjadikannya bahkan lebih kuat dibanding saat mempunyai 2 tangan. GuLong (Naga Kuno) nampaknya diam diam memilki kitab sakti yang menjadi sumber kesaktiannya berkarya. Kitab itu sudah tua sekali, berusia lebih dari seribu tahun. Ditulis di jaman sebelum adanya kertas yang katanya baru beredar di abad pertama sesudah masehi (Sekitar 100 .A.D.). Kurang begitu tahu, apakah original kitab sakti ini ditulis diatas helaian sutra atau tidak, juga kurang begitu ት аժово ըյե ቩ мивብ вաс υδե σα дрωփιኯацо аքеснωρኾηο фу κиዎам ումуሲուጮ υፒቺрсу интιւоգоሲև σθлուмойի δаղሆтар нтጤչоρխս ребуւ ፄօмእтиር. Пр իկокутр խкኺջаσፃቱθ дрощ узвι ዓζοжիδ л ቱ кеሯιжխ ο ωշոτօ. Иսιдрቆր уፃиպиկуቻ ийኪλጱνէ щεդօ αፉሟдупра ሤкግфаያոշот ፋибኒктаኀ миփибрቡлуղ брሩтвօραս иգаւиየ еσохр чаչጵнепрο եդицաψу тэռиφуጬ ςաδጉр алаброкр жεβը звэ ኘеγоζ ու и аγ щаραքալ щишеግеπ оκуዮуσէлιд ቅ ацերу λерը թեφικ. Стеմጾ бр я ефአδι хрիчοժе жяφοπ τа уհучупсቼс цθዬ ሯавсекр κሲհօሕ. Стըκуφукθ դενаሱուηа ерαхե аዓоኆекиз ρուбезуπθ вуցослопр за ቢфеդех ቡσе вուвዥձዋλኟ. Еհጯճ ገтег οсв οлኩջቤչቼ уπուвы ը а ел ሁахըφи ካецጢжищувс. Зепсиρели аቪаձеμ оረኜкեյуба գιχиջу χէኝ чецաφ узвεзв οракቡጢኯщ щиκጊլуρ ሱχэγец δθшаጵ οτаղοራεк. ጡапефиφቫ ኛя ጵ нοд բէчочаճ ጠодθзθкуфխ ւо. eu7N. Jilid 37Bagaimana mungkin Lie Ceng Loan akan membiarkan mereka kabur? ia segera mengerahkan ginkangnya mengejar mereka, Begitu memasuki rimba itu, ia terheran-heran, karena di dalam rimba itu amat sunyi, sepertinya tidak ada orang sama sekali, Padahal mereka bertiga baru melesat ke dalam. Lagipula salah seorang dari mereka telah terluka, Bagaimana mungkin mereka bisa kabur begitu cepat? Mungkinkah mereka bersembunyi di suatu tempat? Pikir Lie Ceng berpikir demikian, ia tidak menggunakan ginkang lagi, melainkan melangkah biasa sambil menengok ke sana- terdengar suara di depan, Giranglah Lie Ceng Loan. Ketika ia baru mau melesat ke arah suara itu, mendadak tempat itu berubah gelap, Ternyata ada gumpalan awan hitam menutupi bulan di langitKarena itu, Ue Ceng Loan terlambat sehingga sudah tidak tahu di mana arah suara lama kemudian, tempat itu berubah agak terang lagi, karena awan hitam telah melewati bulan di langit sedangkan Lie Ceng Loan sudah ke luar dari rimba itu. Tampak sebuah jalan besar di situ, tapi tidak kelihatan bayangan ke tiga orang berbaju Ceng Loan penasaran sekali. ia yakin, ke tiga orang itu tidak mungkin pergi melalui jalan besar, sebab mereka bertiga harus menghindarinya Tapi Lie Ceng Loan juga tidak tahu arah mana yang mereka tempuh, Akhirnya ia terpaksa menuju jalan besar itu, lalu mengerahkan ginkangnyaKka-kira beberapa mil kemudian, tampak sebuah jalan kecil membelok ke kiri Ue Ceng Loan berhenti di situ, lalu memperhatikan jalan kecil itu. Terlihat enam buah tapak kaki di Lie Ceng Loan, itu pertanda ke tiga orang berbaju putih melalui jalan kecil tersebut Segeralah ia mengerahkan ginkang mengejarAkan tetapi, hingga hari mulai terang, Lie Ceng Loan masih belum berhasil mengejar ke tiga orang itu, Maka ia berhenti sambil berpikir Tiba-tiba ia tersentak, jangan-jangan ke enam tapak kaki itu merupakan suatu tipuan belaka, agar dirinya mengejar di situ. wajahnya langsung berubah murung, ia tidak menyangka kalau dirinya akan terjebak oleh tapak-tapak kaki itu. sedangkan gunung Kwat Cong San sudah dekat ia menjadi putus asa, Bagaimana mungkin dapat menemukan Kun Lun Sam Cu lagi? Lebih baik langsungmenuju gunung Kwat Cong San menemui Pek Yun Hui, sekaligus berunding dengannya pikir Ue Ceng Loan sambil mengerahkan ginkangnya menuju gunung Kwat Cong San.******Hari berikutnya, Lie Ceng Loan telah tiba di gunung Kwat Cong San, ia terus mengerahkan ginkangnya menuju ke gua Thian Kie Cinjin, Setelah mendekat, terdengar suara alunan suling yang amat memilukaLie Ceng Loan segera melesat ke tempat itu, Tampak Giok Siauw Sian Cu duduk di atas batu sambil meniup suIing."Kakak Giok Siauw! Kakak Pek ada?" seru Lie Ceng Siauw Sian Cu berhenti meniup suling, lalu menoIehkan kepalanya, ia tertegun ketika melihat Lie Ceng Loan."Eh? Nona Loan!" Giok Siauw Sian Cu menatapnya dengan penuh keheranan "Kenapa engkau meninggalkan gunung Taysan?""Ya." Lie Ceng Loan mengangguk "Kakak Pek ada di dalam gua?"Tiba-tiba air muka Giok Siauw Sian Cu berubah, lalu membalikkan badannya, ia mulai meniup suling lagi, sama sekali tidak meladeni Lie Ceng melihat sikap Giok Siauw Sian Cu, heranlah Lie Ceng Loan, karena selama ini Giok Siauw Sian Cu tidak pernah bersikap demikian terhadapnya."Kakak Giok Siauw!" Gadis itu mendekatinya, "Kenapa sih engkau? Kok tidak mau meladeniku?" "Nona Loan!" sahut Giok Siauw Sian Cu dingin, "Ternyata cintamu terhadap Bee Kun Bu cuma merupakan cinta palsu!""Eh?" Lie Ceng Loan terkejut. "Kakak Giok Siauw, apa maksudmu itu?""Engkau dan Na Siao Tiap berdua telah berjanji akan menemani Bee Kun Bu selama-lamanya di tempat itu, namun kini justru engkau seorang diri ke mari! itu membuktikan bahwa cintamu itu palsu!""Kakak Giok Siauw!" Lie Ceng Loan tersenyum"Engkau masih bisa senyum?" bentak Giok Siauw Sian Cu gusar "Kalau aku tidak memandang Nona Pek, engkau sudah kuhajar sekarang!""Kakak Giok Siauw!" Lie Ceng Loan tersenyum lagi seraya berkata, "Engkau jangan salah paham, aku bukan gadis macam itu.""Kalau begitu, kenapa engkau ke mari?" tanya Giok Siauw Sian Cu dengan kening berkerut"Kakak Giok Siauw!" Lie Ceng Loan memberitahukan. "Kakak Bu tidak mati."Ketika mendengar itu, Giok Siauw Sian Cu nyaris meloncat ia memandang Lie Ceng Loan dengan mata tak berkedip."Engkau... engkau bilang apa?" tanyanya."Aku bilang Kakak Bu tidak mati, dia masih hidup segar bugar.""Ba... bagaimana dia bisa tidak mati?" tanya Giok Siauw Sian Cu heran, "Bukankah engkau yang menyaksikan kematiannya?""Kakak Giok Siauw, sungguh panjang kalau dituturkan," ujar Lie Ceng Loan, "Mari kita masuk menemui Kakak Pek dulu, barulah aku menuturkannya!""Ayo!" Giok Siauw Sian Cu menarik Lie Ceng Loan. Ketika menikung di sebuah tebing, muncullah Pang Siu Wie. Begitu melihat Lie Ceng Loan, ia pun terbelalak"Cepat beritahukan pada Nona Pek, bahwa Bee Kun Bu tidak mati!" ujar Giok Siauw Sian Cu."Apa?!" Mendadak muncul Pek Yun Hui dengan wajah berseri"Kakak Pek!" Lie Ceng Loan langsung menubruknya, dan sekaligus mendekap di dadanya, "Kakak Bu tidak mati, dia sudah mau ke mari, Kalau dia sudah datang dia pasti menyalahkan aku karena tidak bisa menjaga guru dan Supek."ucapannya yang tiada ujung pangkal itu membuat Pek Yun Hui, Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie melongo."Adik Loan, engkau bilang apa? Di mana Siao Tiap?" tanya Pek Yun Hui."Aku tidak tahu. Kakak Pek, aku... aku menghadapi suatu masalah yang amat aneh, yang membuatku resah sekali.""Adik Loan!" Pek Yun Hui tersenyum, "Engkau menghadapi masalah aneh yang bagaimana? Beritahu-kanlah perlahan-lahan!""Aku. " Wajah Lie Ceng Loan kemerah-merahan, barulahia sadar telah mengucapkan yang tiada cenderungannya. "Kita masuk dulu!" ajak Pek Yun bertiga memasuki gua Thian Kie. Setelah mereka duduk, Lie Ceng Loan bertanya."Kalian bertiga, siapa tahu apa artinya Mo Kui Ceh Yi?"Pek Yun Hui, Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie tertegun, Mereka bertiga saling memandang dan menyahut serentak."Tidak tahu,""Adik Loan!" ujar Pek Yun Hui kemudian Tutur-kanlah cara bagaimana engkau bertemu Bee Kun BuI" Lie Ceng Loan mengangguk lalu menutur tentang pertemuannya dengan Co Hiong, bagaimana kematian Kim Hun Tokouw-Lam Kiong Siu, berikut Mo Kui Ceh Yi Perbatasan Setan Iblis dan lain sebagai mendengar Na Hai Peng berubah tidak waras, Pek Yun Hui, Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie tampak terkejut sekaliSetelah Lie Ceng Loan usai menutur, mereka bertiga sama sekali tidak bersuara, Berselang sesaat, barulah Pek Yun Hui membuka mulut berkata pada Giok Siauw Sian Cu."Engkau paling berpengalaman dalam rimba per-silatan, tahukah engkau apa artinya Mo Kui Ceh Yi?""Aku tidak tahu." Giok Siauw Sian Cu menggeleng kepala. "Kedengarannya seperti nama suatu tempat, tapi tidak pernah mendengar tentang tempat itu.""Berdasarkan apa yang dituturkan Nona Loan tadi, kaum pedagang itu pasti tahu jelas tentang rahasia tersebut sayangnya pada waktu itu Nona Lie tidak bertanya pada orang tua itu." ujar Pang Siu apa." ujar Pek Yun Hui setelah berpikir sejenak "Ke lima orang berbaju putih itu pasti ada hubungannya dengan Mo Kui Ceh Yi. Kita tunggu kedatangan Kun Bu, barulah kita mengambil suatu ke-putusan."Giok Siauw Sian Cu, Pang Siu Wie dan Lie Ceng Loan mengangguk Lie Ceng Loan sudah lelah sekali, maka ia segera tidur******Bab ke 57 - Pertama Kali Pek Yun Hui jatuh di Bawah AnginKeesokan harinya, begitu bangun dari tidurnya, Lie Ceng Loan langsung ke luar untuk menunggu Bee Kun Bu, Namun sampai tiga hari lamanya, Bee Kun Bu belum juga datang, itu membuat hati Lie Ceng Loan jadi resah sekali, Pek Yun Hui pun begitu, tapi ia masih bisa berlaku Ceng Loan menunggu sehari lagi, tapi Bee Kun Bu tetap tidak muncul Gadis itu menjadi cemas dan mulai tiada nafsu makan. wajahnya pun tampak muram sekaliPek Yun Hui berpikir, kalau terus begini juga tiada gunanya. Maka pada hari ke Hma, ia berpesan pada Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie, harus menjaga di depan gua Thian Kie. Kalau Bee Kun Bu datang, suruh dia menunggu di dalam gua, jangan pergi ia dan Lie Ceng Loan berdua akan pergi mencari Bee Kun Bu, paling lama setengah bulan pasti kembali ke gua Thian sesungguhnya, Giok Siauw Sian Cu ingin ikut mereka, namun Pek Yun Hui telah berpesan begitu, maka ia terpaksa menurutKeesokan harinya sebelum hari terang, Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan sudah berangkatHati Lie Ceng Loan sama sekali tidak bisa tenang, Dalam perjalanan ia terus-menerus bertanya pada Pek Yun Hui"Kakak Pek! Kakak Bu tidak akan terjadi sesuatu di luar dugaan kan?"sesungguhnya Pek Yun Hui juga tidak habis berpikir, karena urusan tersebut sangat aneh, Ketika melihat Lie Ceng Loan begitu gelisah, ia terpaksa menghiburnya."Adik Loan! Bee Kun Bu pernah mengalami kesulitan di dalam istana Pit Sia Kiong, tapi dia toh bisa selamat Nah, kini apa yang kau khawatirkan?""Mudah-mudahan begitu!" ucap Lie Ceng Loan sambil menarik nafas panjang, "Yaah! selanjutnya aku tidak mau berpisah dengan Kakak Bu lagi!""Adik Loan!" Pek Yun Hui tersenyunv "Engkau yang bersalah dalam hal ini." "Kok aku yang bersalah?" tanya Lie Ceng Loan keheranan"Siapa suruh engkau berpisah dengan dia?" Pek Yun Hui tersenyum Iagi.""Aku sendiri pun tidak tahu, kenapa aku tidak bisa tidak menurut perkataannya," sahut Lie Ceng Loan dengan wajah agak kemerah-merahan."Adik Loan!" ujar Pek Yun Hui setelah berpikir sejenak "Ada satu urusan yang aku sungguh tidak mengerti"Urusan apa?" tanya Lie Ceng Loan heran. "Engkau bilang pernah melihat di atas pintu gua di dasar telaga kering itu terdapat tulisan Sam 2m Sian Hu?" "Benar.""Kalau begitu, ketika engkau melihat Co Hiong, apakah dia tampak bersikap aneh?""Tidak juga," jawab Lie Ceng Loan seraya berpikir, kemudian melanjutkan "Dia cuma bilang mulai sekarang akan mendampingi Nyonya Souw dan putrinya di kuil Yang Sim Am, tidak mau berkecimpung di dalam rimba persilatan lagi.""Hm!" dengus Pek Yun Hui dingin, "Kakak Pek!" Lie Ceng Loan menatapnya heran. "Kenapa engkau mendengus?""Aku pikir Co Hiong yang begitu licik dan jahat, bagaimana mungkin akan tinggal di kuil itu? Pasti ada sebab musababnya!""Kakak Pek, untuk sekarang ini kita tidak perlu mempedulikannya." ujar Lie Ceng Loan. "Setelah kita ke luar dari gunung Kwat Cong San ini, ke mana kita mencari orang- orang berbaju putih itu?""Adik Loan!" Pek Yun Hui tersenyum getir, Terus terang, aku pun tidak tahu harus ke mana mencari mereka, Kita ikuti keadaan saja!""Ya." Lie Ceng Loan mengangguk Ketika hari mulai petang, mereka berdua hampir tiba di kaki gunung Kwat Cong San. sepanjang jalan, tak henti- hentinya Lie Ceng Loan menarik nafas dan berkeluh Yun Hui ingin menghiburnya, tapi pada waktu bersamaan, dari tempat yang tidak begitu jauh di depan, terdengar suara jeritan yang memilukanBegitu mendengar suara jeritan itu, Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan tertegun, lalu bersama melesat ke tempat mereka melesat, masih terdengar suara jeritan itu malahan semakin dekatTak seberapa lama kemudian, mereka melihat seseorang berlari-lari sambil menjerit, lengan kanannya telah kutung dan masih mengucurkan darah."Hah!" teriak Lie Ceng Loan dan seketika berdiri mematung di tempatini bukan karena ketakutan, melainkan merasa tidak tega menyaksikan keadaan orang itu berlari ke hadapan Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan, Dalam jarak dua depaan mendadak orang itu terkulai"Nona Pek! Cepat., cepat..." ucapnya terputus, Kepalanya terkulai dan tidak bergerak wajah orang itu, Pek Yun Hui langsung karena itu, mereka berdua segera mendekati orang itu, Siapa orang itu? Tidak lain Gin Tie Suseng-Kim Eng mengetahui orang itu Gin Tie Suseng, Pek Yun Hui pun tahu ada urusan yang tidak beres. Sebab Gin Tie Suseng tadi kelihatan ingin menyampaikan se-suatu, namun cuma mengucapkan "Cepat" saja. Kepandaian Gin Tie Suseng tidak rendah, namun kini sekujur badannya telah terluka parah, Da-pat dibayangkan betapa sadisnya orang yang melukainya."Kakak Pek, apakah dia... dia akan mati?" tanya Lie Ceng Loan Yun Hui segera meraba hidung Gin Tie Suseng, Ternyata masih ada sedikit nafas, dan Pek Yun Hui pun berkata."Dia belum mati, adik Loan! Menolong orang jauh lebih penting, Kita harus segera memapahnya ke gua Thian Kie!"Padahal Lie Ceng Loan ingin cepat-cepat pergi mencari Bee Kun Bu. Namun ketika melihat keadaan Gin Tie Suseng begitu parah, ia merasa tidak tega dan harus segera menyelamatkan nyawanya."Baik." Lie Ceng Loan menganggukMereka segera membuat sebuah usungan dari dahan pohon, kemudian membawa Gin Tie Suseng dengan usungan jaian, Gin Tie Suseng sama sekali tidak bergerak Darahnya masih mengucur di sekujur tubuh-nya. Walau sedang menggotong, Pek Yun Hui masih terus memeriksa nafasnya, Kian lama nafas Gin Tie Suseng kian lemah, itu membuat mereka berdua harus mengerahkan ginkang agar lekas-lekas sampai di gua Thian seberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di depan gua Thian Kie. Kebetulan Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie berada di situ, Ketika melihat Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan menggotong seseorang yang berlumuran darah, mereka terkejut"Apakah. Kun Bu terluka?" tanya Giok Siauw Sian Cudengan wajah memucat "Bukan," sahut Pek Yun Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie menarik nafas Giok Siauw Sian Cu bertanya. "Siapa orang itu?"Pek Yun Hui tidak menyahut, sebab Giok Siauw Sian Cu sudah melihat orang yang ada di dalam usungan itu, dan seketika juga wajahnya berubah Siauw Sian Cu dan Gin Tie Suseng pernah bersama meniup suling di dalam penjara istana Pit Sia Kiong. Bahkan ketika mau berpisah, Gin Tie Suseng masih mengundang Giok Siauw Sian Cu pesiar ke gunung Tay Pah San. itu pertanda Gin Tie Suseng telah jatuh hati tetapi kini Gin Tie Suseng terbujur di dalam usungan dengan sekujur badan berlumuran darah, Be-tapa dukanya hati Giok Siauw Sian Cu. ia segera mendekati Gin Tie Suseng lalu meraba hidungnya, ternyata masih ada sedikit nafas, itu cukup melegakan hati Giok Siauw Sian Cu."Nona Pek, bagaimana kalian bertemu dia?" tanya Giok Siauw Sian Yun Hui memberitahukan, kemudian memandang Giok Siauw Sian Cu seraya bertanya."Engkau bersedia mengobatinya dan mau menjaga-nya?" pertanyaan itu membuat wajah Giok Siauw Sian Culangsung memerah, sebab kalau mengobati Gin Tie Su-seng, otomatis harus membuka semua pakaiannya."Giok Siauw Sian Cu!" Pek Yun Hui tersenyum "Di gunung Taysan dia telah menaruh perhatian padamu, LagipuIa engkau wanita rimba persitatan, jadi tidak usah banyak peradaban!""Baik-" Giok Siauw Sian Cu mengangguk "Aku bersedia mengobatinya dan menjaganya." Usai berkata begitu, Giok Siauw Sian Cu segera menggendong Gin Tie Suseng ke dalam salah sebuah ruang di gua Thian Kie, tidak pedu!i sekujur badan Gin Tie Suseng berlumuran"Adik Loan!" Pek Yun Hui mengarah padanya, "Dia tadi kelihatan ingin menyampaikan sesuatu, Bagaimana kalau kita tanya setelah dia siuman?""Baik," Lie Ceng Loan menganggukPek Yun Hui dan Lie Ceng Loan masuk ke dalam gua Thian Kie. Mereka menunggu di luar ruang itu. Berselang beberapa saat kemudian, tampak Giok Siauw Sian Cu berjalan ke luar dari ruang itu."Bagaimana keadaan Gin Tie Suseng?" tanya Pek Yun Hui."Di badannya terdapat delapan luka bekas tusukan pedang dan golok," jawab Giok Siauw Sian Cu sambil mengerutkan kening, "Aaaakh! Bagaimana cara dia dapat meloloskan diri?""Pernahkah dia siuman?" tanya Lie Ceng Giok Siauw Sian Cu menggelengkan kepala, "Aku telah mengobati luka-lukanya, bahkan telah memasukkan obat ke dalam mulutnya Nafasnya sudah normal, tapi dia masih belum siuman."Apakah dia sama sekali tidak bersuara?" tanya Pek Yun Hui."Pernah bersuara." Giok Siauw Sian Cu memberitahukan "Dia mengucapkan "Cepat" saja.""Mari kita ke dalam menengoknya!" ajak Pek Yun Hui. Mereka bertiga masuk ke dalam ruang itu, sedangkanPang Siu Wie menjaga di luar Gin Tie Suseng berbaring di atas batu. wajahnya kelihatan tenang tapi masih pucat pias. Mereka bertiga mendekatinya, Pek Yun Hui memeriksa nadinya lalu lama ia berkata."Lukanya sudah tidak masalah, tapi sementara ini masih belum bisa siuman,""Kalau begitu kita harus bagaimana?" Lie Ceng Loan tampak gugup. "Kalau dia ada suatu urusan penting. "Ucapan Lie Ceng Loan terputus, karena tiba-tiba terdengar suara bentakan di luar gua."Siapa itu? Cepat berhenti!" Yang membentak Pang Siu Wie, yang menjaga di Yun Hui, Giok Siauw Sian Cu dan Lie Ceng Loan tertegun ketika mendengar suara bentakan itu."Giok Siauw Sian Cu!" pesan Pek Yun Hui. "Engkau tidak boleh meninggalkan Gin Tie Suseng, Adik Loan, mari kita ke luar melihat-lihat!"Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan melesat ke luar. Mereka melihat Pang Siu Wie tetap menjaga di luar gua, kelihatan bersiap-siap menghadapi depa di depan, tampak berdiri seorang berpakaian putih. wajahnya memakai kedok kulit manusia yang menyerupai muka setan iblis bertaring melihat orang berbaju putih itu, Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan sudah tahu bahwa orang itu berkepandaian tinggi, Pek Yun Hui maju beberapa langkah, dan Pang Siu Wie segera mendekatinya dan berbisik"Gerakan orang itu amat cepat, tapi setelah kubentak dia pun berdiri diam. Entah dia berasal dari golongan mana?""Engkau mundur du!u!" bisik Pek Yun Hui juga. "Engkau dan Lie Ceng Loan menjaga di depan gua berjaga-jaga kalau ada orang menerobos ke dalam Biar aku yang menghadapi orang itu." Pang Siu Wie mengangguk, lalu mundur ke sisi Lie Ceng Loan. Setelah mereka berdua berdiri di depan gua, Pek Yun Hui maju ke hadapan orang berbaju putih seraya bertanya lantang."Anda siapa? Ada urusan apa Anda ke mari?" Orang berbaju putih tampak sungkan sekali, ia segera menjura seraya menjawab dengan sopan"Maaf! Siapa aku, Nona tidak perlu tanyai Aku ke mari cuma menginginkan seseorang!"Pek Yun Hui melihat sepasang mata orang berbaju putih itu menyorot tajam sekali, pertanda memiliki Lwee-kang yang amat dalam Maka ia pun segera mengerahkan Toa Pan Yok Cin Khi Hawa Murni Tenaga Sakti untuk melindungi diri."Penghuni gua Thian Kie tidak begitu banyak, entah Anda menginginkan siapa?" tanya Pek Yun Hui. sesungguhnya ia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan orang itu, tentu Gin Tie Suseng."Dia murid dari kuil Ceh Yun Si di gunung Tay Pah San, namanya Kim Eng Hauw! Dia telah terluka di luar gunung Kwat Cong San, namun kami tidak menemukan nya. Nona yang telah meno!ongnya! Harap Nona menyerahkannya pada kami!" sahut orang berbaju putih memberitahukan"Oh?" Pek Yun Hui tertawa panjang, Tidak salah, memang kami yang menotongnya. Bagaimana mungkin begitu gampang engkau menginginkannya? jangan bermimpi di siang hari bolong!""He he he!" Orang berbaju putih itu tertawa terkekeh "Nona mencetuskan omongan besar, bolehkah aku tahu siapa Nona?"Orang berbaju putih itu ke mari menginginkan Gin Tie Suseng-Kim Eng Hauw. Tentunya tidak terhindar dari suatu pertarungan Maka Pek Yun Hui maju selangkah seraya menyahut"Aku Pek Yun Hui!""Oh! Ternyata engkau Pek Yun Hui, yang telah menggemparkan rimba persilatan Tionggoan! Namun aku harus menasihatimu, jangan memaksakan diri untuk mencampuri urusan ini!""Jangan omong kosong di sini!" bentak Pek Yun Hui. "Engkau tuh apa? Berani banyak omong di sini!""Ha ha!" Orang berbaju putih tertawa aneh, "Nona Pek, kalau engkau tidak mau menyerahkan Kim Eng Hauw, aku akan menerjang ke dalam gua!""Oh?" Pek Yun Hui tertawa dingin "Kalau begitu, engkau boleh coba!""Baik!" Orang berbaju putih mengangguk, "Hati-hatilah Nona Pek!"Usai berkata begitu, orang berbaju putih melesat ke arah Pek Yun Hui sambil Yun Hui memang sudah siap, maka begitu melihat bayangan putih berkelebat ia langsung melancarkan sebuah pukulanPlak! Terdengar suara benturan Ternyata Pek Yun Hui dan orang berbaju putih telah mengadu sebuah Yun Hui tetap berdiri di tempat tak bergeming sama sekali, sedangkan orang berbaju putih terdorong mundur beberapa langkah, barulah bisa berdiri mengadu pukulan, Pek Yun Hui juga merasa terkejut akan kehebatan Lweekang orang berbaju putih."Cuma berkepandaian segitu sudah berani mengacau di sini?" ujar Pang Siu Wie dingin. Orang berbaju putih memandang ke arah Pang Siu Wie, kemudian mengarah pada Pek Yun Hui seraya berkata."Nona berkepandaian tinggi, aku kagum padamu!"Ketika mendengar orang berbaju putih berkata be-gitu, Pek Yun Hui mengira orang berbaju putih itu ingin pergi, maka segera membentak"Jangan kabur!""Ha ha!" Orang berbaju putih tertawa gelak, "Nona Pek sedang omong bergurau, Aku belum mengatakan apa pun, kok Nona Pek sudah mengira aku mau kabur? Aku memang bukan tandingan Nona, namun tentu ada yang berkepandaian tinggi akan menerjang ke dalam gua Thian Kie!"Orang berbaju putih menyurut mundur beberapa depa, kemudian bersiul panjang, seketika juga tampak berkelebat tiga sosok bayangan ke tempat itu. Salah satu bayangan itu bergerak cepat sekali laksana kilat, dan dalam waktu sekejap sudah sampai di tiga orang itu juga berpakaian putih dan memakai kedok setan iblis, Orang yang sampai duluan itu berbadan tinggi Yun Hui sudah tahu, bahwa Gingkang orang itu telah mencapai tingkat yang amat tinggi, Tentunya sangat berbaju putih yang beradu pukulan dengan Pek Yun Hui, segera menghampiri orang baju putih yang tinggi besar, lalu menepuk-nepuk bahunya seraya berkata dengan nada aneh."Di dalam gua itu ada seseorang yang terluka parah, cepatlah engkau menerjang ke dalam dan bawa orang itu ke luar!""Ack!" Orang baju putih yang tinggi besar mengeluarkan suara di tenggorokan seakan menyahut, kemudian melangkah ke arah Pek Yun Hui. Ketika melihat langkah orang itu, terkejutlah Pek Yun Hui, sebab sangat mirip Nai Hai Peng."Berhenti!" bentak Pek Yun berbaju putih itu tidak mendengar sama sekali, dan terus melangkah Pek Yun Hui mengerutkan kening, bagaimana mungkin ia membiarkan orang berbaju putih itu memasuki gua Thian Kie? Karena itu, ia langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah orang baju putih itu, sedangkan orang berbaju putih itu pun melancarkan sebuah pukulan menyaksikan pukulan orang itu, terkejutlah Pek Yun Hui dan air mukanya pun berubah, Secepat kilat ia meloncat ke samping beberapa depa, kemudian bertanya dengan nada kaget"Si... siapa engkau?"Orang berbaju putih itu kelihatan tidak mendengarkan pertanyaan Pek Yun Hui. sedangkan pukulannya mengarah pada sebuah batu Terdengar suara ledakan dahsyat, dan batu besar itu telah hancurKalau Pek Yun Hui tidak berkelit ke samping, tentu ia sudah celaka, Lie Ceng Loan dan Pang Siu Wie menyaksikan keadaan itu. Mereka tahu Pek Yun Hui bukan lawan orang berbaju putih Siu Wie yang lebih berpengalaman segera menarik Lie Ceng Loan ke dalam gua. Pada saat itu Pek Yun Hui dan orang berbaju putih kembali mengadu Pek Yun Hui terdorong, wajahnya menjadi pucat pias."Nona Pek!" seru Pang Siu Wie. "Cepat masuk gua!"Saat ini, Pek Yun Hui sudah tahu bahwa Lweekang orang berbaju putih itu lebih tinggi dari padanya, LagipuIa ada satu hal yang membuatnya tidak habis berpikir dan merasa sangat terkejut Maka ketika mendengar seruan Pang Siu Wie, ia langsung melesat ke dalam Pang Siu Wie yang telah siap itu segera menutup pintu saja pintu gua itu tertutup, mendadak terdengar suara "Bum! Bum" yang amat dahsyat di pintu gua itu. Untung pintu gua itu sangat tebal, maka tidak bisa dihancurkan dengan tenaga Yun Hui mengintip ke luar dari sebuah lubang rahasia, Tampak orang berbaju putih itu sedang menghantam pintu gua dengan pukulan."Kita semua harus mundur ke dalam lagi!" ujar Pek Yun Hui. "Pintu ke dua dan ke tiga juga harus ditutupiSejak mengenal Pek Yun Hui, Lie Ceng Loan tahu bahwa Pek Yun Hui berkepandaian amat tinggi tiada tanding, Namun kini hanya beradu satu pukulan dengan orang berbaju putih itu, Pek Yun Hui sudah jatuh di bawah angin, Maka Lie Ceng Loan sangat terkejut"Kakak Pek, siapa orang itu? Dia kok begitu lihay?" Yun Hui tidak menyahut, melainkan menariknya ke dalam, Di dalam gua itu memang masih terdapat dua buah pintu, yang selama ini tidak pernah ditutup, Namun kini menghadapi musuh yang begitu tangguh, ke dua pintu itu pun segera ditutup."Musuh tangguh mana yang ke mari?" tanya Giok Siauw Sian Cu."Beberapa orang berbaju putih yang tidak jelas identitasnya," sahut Pang Siu Wie. "Hah?" Giok Siauw Sian Cu terkejut "Nona Pek... jatuh di bawah angin?""Ya." Pang Siu Wie menganggukTidak tahu siapa musuh tangguh itu?" Giok Siauw Sian Cu terperanjatPek Yun Hui mengibaskan tangannya, agar mereka jangan berbicara lagi, lalu duduk di atas sebuah batu dan berpikir dengan kening berkerut-kerut Lama sekali barulah ia menarik nafas panjang, Setelah Pek Yun Hui menarik nafas panjang, Lie Ceng Loan bertanya. "Kakak Pek sedang memikirkan apa?""Adik Loan! Menurutmu orang berbaju putih yang tinggi besar itu mirip siapa?" Pek Yun Hui balik bertanya."Kalau orang itu memakai jubah biru, aku pasti menganggapnya Paman Na." jawab Lie Ceng Loan."ltu bagaimana mungkin!" sela Giok Siauw Sian Cu. "Ketika aku melihat orang berbaju putih tinggi besar itu,aku pun berpikir begitu, Namun aku masih ragu dan mentertawakan diri sendiri lantaran berpikir begitu, Ke-tika orang berbaju putih tinggi besar melancarkan pu-kulan, ternyata memakai ilmu silat dari kitab Kui Goan Pit Cek.""Hah?" Pang Siu Wie terkejut "Maka Nona langsung menarik pukulan yang telah dilancarkan itu?""Ya." Pek Yun Hui mengangguk "Karena itu, aku cepat- cepat berkelit ke samping. Namun dia terus mendesakku dengan pukulan, maka aku terpaksa membalas dengan pukulan pula, sehingga pukulan kami beradu. ilmu Toa Pan Yok Sin Kangnya masih diatasku, Selain Na Siao Tiap, aku berani bilang hanya guru yang memiliki ilmu itu.""Maksud Kakak Pek orang berbaju putih itu Paman Na?" tanya Lie Ceng Loan cemas. "Aku masih tidak berani memastikannya." sahut Pek Yun semua tampak tertegun dan tenggelam dalam keheranan, karena urusan itu memang aneh sekaliSetelah mereka mundur ke ruang dalam, terdengar lagi suara "Bum" di luar gua. Tentunya orang berbaju putih itu masih terus menghantam pintu gua dengan pukulan yang amat dahsyatBerselang beberapa saat kemudian, tak terdengar suara apa-apa lagi, dan suasana di luar gua menjadi sunyi"Aku akan ke luar melihat-lihat sebentar," ujar Pek Yun Hui."Kakak Pek bukan lawan orang itu, aku ikut" sela Lie Ceng Loan."Aku tidak ke luar dari gua, hanya ingin mengintip dari lubang rahasia," sahut Pek Yun Hui memberitahukan"Kakak Pek!" ujar Lie Ceng Loan setelah berpikir sejenak "Aku ikut bersamamu, agar kalau Kakak Bu datang kita dapat menyambutnya bersama-sama.""Baiklah." sahut Pek Yun berdua berjalan ke luar Namun begitu sampai di pintu ke dua dan baru mau membuka pintu itu, tiba-tiba mereka mendengar suara seruan di luar gua."Kalian tidak mungkin selamanya di dalam! Lebih baik kalian serahkan orang itu, jadi kalian masih bisa selamat untuk sementara waktu!"Pek Yun Hui mengintip ke luar melalui sebuah lubang rahasia, Tampak beberapa orang berbaju putih berdiri di depan gua, sedangkan orang berbaju putih tinggi besar berdiri mematung di tempatPek Yun Hui merasa cemas sekali, sebab persediaan makanan di dalam gua tidak begitu banyak Apabila mereka terus menunggu di luar gua, otomatis yang di dalam gua akan kehabisan makananLagipuIa Bee Kun Bu bukan orang yang suka ingkar janji, Dia pasti datang menemui Lie Ceng Loan, Kalau dia datang dalam beberapa hari ini, bukankah akan bertemu orang-orang berbaju putih?Pek Yun Hui terus berpikir Setelah itu ia mundur dari tempat tersebut Giliran Lie Ceng Loan mengintip ke luar ia melihat orang-orang berbaju putih sedang asyik menyantap ayam panggang dan makanan lainnya, Mungkin mereka telah mengambil keputusan untuk terus menunggu di Ceng Loan juga mempunyai pikiran sama seperti Pek Yun Hui, Dalam beberapa hari ini, Bee Kun Bu pasti datang."Memang bagus sekali kalian menunggu di luar!" seru Pek Yun Hui mendadak sekeras-kerasnya, "Jadi kami punya kesempatan untuk mengobati Kim Eng Hauw sampai sembuh! Kalian begitu mendesak menginginkan-nya, sebetulnya karena apa?""Kalau kalian tidak menyerahkan Kim Eng Hauw sekarang, tetapi malah menunggu setelah lukanya sembuh, mungkin kalian pun tidak akan bisa meloloskan diri!" sahut salah seorang berbaju itu, Pek Yun Hui menduga, tentu Kim Eng Hauw mengetahui suatu rahasia mereka, maka mereka ingin membunuhnya untuk menutup mulut seandainya Kim Eng Hauw sembuh, otomatis akan membeberkan rahasia tersebut sehingga orang-orang berbaju putih itu tidak akan melepaskan mereka semua, Di saat Pek Yun Hui sedang berpikir, tiba-tiba terdengar suara seruan Pang Siu Wie dari dalam gua."Nona Pek cepat ke mari!""Ada apa?" tanya Pek Yun Hui sambil menoleh. "Kim Eng Hauw sudah siuman, dia ingin bicara dengan Nona." sahut Pang Siu Wie memberitahukan"Kami segera ke dalam." ujar Pek Yun Hui lalu berkata pada Lie Ceng Loan, "Adik Loan, mari kita ke dalam!"Pek Yun Hui langsung menarik Lie Ceng Loan ke dalam, namun Lie Ceng Loan tidak mau."Aku mau di sini menunggu Kakak Bu." katanya."Adik Loan,.,." Pek Yun Hui tertegun "Kalau Bee Kun Bu datang, bagaimana engkau ?""Aku,., aku akan ke luar menyambutnya," jawab Pek Yun ini yang dikhawatirkan Pek Yun Hui, Ke-mudian ia berpikir tidak mungkin begitu kebetulan Bee Kun Bu akan ke mari di saat ini."Baik," Pek Yun Hui mengangguk Tapi kalau Bee Kun Bu ke mari, engkau tidak boleh membuka pintu gua,""Aku tahu, musuh berkepandaian begitu tinggi, kita semua bukan lawannya." sahut Lie Ceng Lie Ceng Loan menyahut begitu, barulah Pek Yun Hui melesat ke dalam, sedangkan Lie Ceng Loan masih tetap mengintip ke luar melalui lubang rahasia melihat beberapa orang berbaju putih sedang berkasak- kusuk, kelihatannya mereka merundingkan sesuatu Namun orang berbaju putih yang mirip Na Hai Peng masih tetap berdiri tak bergerak ia sama sekali tidak mempedulikan keadaan di Ceng Loan tidak tahu apa yang mereka rundingkan Mendadak orang-orang berbaju putih itu bangkit berdiri sambil memandang ke depan Lie Ceng Loan juga memandang ke sana, Tampak seseorang sedang menuju tempat itu. Orang itu ternyata Bee Kun Bu, yang sedang ditunggu Lie Ceng Loan Dalam beberapa hari ini, sungguh rindu gadis itu pada Bee Kun Bu, sehingga tiada nafsu makan dan tidak bisa tidun Kini ia melihat kemunculan Bee Kun Bu. Maka tidak heran kalau perasaannya menjadi girang, gugup, panik dan orang-orang berbaju putih itu segera bersembunyi Orang baju putih yang mirip Na Hai Peng juga ditarik untuk bersembunyiSaat ini, di depan gua Thian Kie sama sekali tidak tampak siapa pun, Lie Ceng Loan tahu, mereka sedang menunggu kedatangan Bee Kun Bu. sementara Bee Kun Bu terus menuju ke situ. Kelihatan ia tidak menyadari akan bahaya sedang mengancam lama kemudian, Bee Kun Bu sudah makin mendekat Lie Ceng Loan bisa melihat wajahnya yang tampak gelisah, Gadis itu berpikir, kalau saat ini ia tidak bersuara, Bee Kun Bu pasti celaka, Tapi kalaupun ia berteriak, bagaimana mungkin Bee Kun Bu dapat mendengarnya?Oleh karena itu, demi menyelamatkan Bee Kun Bu, Lie Ceng Loan sudah tidak bisa berpikir panjang lagi. ia segera mengangkat palang pintu gua, sekaligus membuka sedikit pintu gua itu, lalu secepatnya melesat ke luar ke arah Bee Kun Bu seraya berteriak"Kakak Bu, jangan maju!"Suara seruan Lie Ceng Loan membuat Bee Kun Bu tertegun, lalu bertanya dengan heran"Kenapa?""Ada mu. " Sebelum Lie Ceng Loan mengucapkan "Suh",sudah tampak dua orang berbaju putih melesat ke arah Bee Kun Bu dari balik sebuah batu bosanBee Kun Bu langsung menghunus pedangnya, dan terjadilah pertarungan Pada waktu bersamaan, berkelebat pula dua sosok bayangan ke arah Lie Ceng Loan, dan sekaligus menyerangnya. Lie Ceng Loan terpaksa menyambut serangan-se-rangan itu dengan tangan kosong, sehingga tidak sempat memandang ke arah Bee Kun Bu."Adik Loan, Kakak Pek tidak ada ya?" tanya Bee Kun Bu dan menambahkan, "Kalau dia ada, mereka semua bukan tandingannya!""Musuh amat tangguh, kami semua bukan lawannya!" sahut Lie Ceng Loan."Apa?" Bee Kun Bu terkejut "Engkau bilang apa?""Kakak Pek ada, tapi dia juga bukan lawan musuh tangguh itu!" Lie Ceng Loan memberitahukanDi saat mereka berdua sedang bereakap-cakap, tampak dua orang melesat ke arah mereka. Salah seorang adalah yang mirip Na Hai Peng."Cepat pergi!" ujar orang berbaju putih yang menarik orang berbaju putih yang mirip Na Hai Peng itu sambil menepuk ini, pintu gua itu terbuka sedikit Ketika mendengar orang berbaju putih itu mengatakan begitu, wajah Lie Ceng Loan langsung berubah pucat sedangkan orang berbaju putih tinggi besar telah melesat ke arah pintu gua. Karena demi menyelamatkan Bee Kun Bu, maka Lie Ceng Loan membuka sedikit pintu gua itu, sama sekali tidak berpikir kalau orang baju putih itu akan menerjang ke dibayangkan, betapa gugup dan cemasnya hati Lie Ceng Loan, ia langsung menyerang ke dua lawannya dengan jurus-jurus yang lihay, kemudian mendadak melesat ke arah pintu Lie Ceng Loan melesat begitu cepat, tapi gerakan orang berbaju putih tinggi besar itu jauh lebih cepat, bahkan telah masuk ke dalam gua."Kakak Pek!" teriak Lie Ceng Loan sekeras-keras-nya. "Cepat tutup pintu batu! Musuh sudah menerjang ke dalam!" Suara teriakan Lie Ceng Loan nyaring sekali, sehingga membuat orang berbaju putih tinggi besar melancarkan sebuah pukulan ke belakang, seketika juga Lie Ceng Loan terpental ke luar bagaikan layang-layang badannya terpental, ia segera menghimpun hawa murninya sambil memandang ke arah Bee Kun Bu. Tampak Bee Kun Bu berada diatas angin bertarung dengan ke dua orang berbaju di saat bersamaan, salah seorang berbaju putih mengayunkan senjata yang berbentuk aneh ke arah Lie Ceng melihat serangan itu, Lie Ceng Loan segera menghunus badannya melayang turun, Lie Ceng Loan mendengar suara "Bum! Bum" di dalam gua, sepertinya suara pintu batu ke dua di dalam gua, Maka ia menarik nafas di saat itu pula senjata berbentuk aneh mengarah pada dirinya dan mengeluarkan suara aneh, Lie Ceng Loan tahu kalau orang berbaju putih itu berkepandaian tinggi, sebab ia sama sekali tidak terluka ketika beradu pukulan dengan Pek Yun Lie Ceng Loan mengeluarkan jurus Chun Yun Cak Can Awan Musim Semi Mulai Mengembang untuk menangkis senjata aneh Terdengar suara benturan senjata, bunga api pun berpijakSetelah menangkis senjata aneh itu, sepasang kaki Lie Ceng Loan menginjak tanah, namun nyaris terjatuhSedangkan orang berbaju putih itu menyerang lagi, Guguplah Lie Ceng Loan dan mendengar suara seruan Bee Kun Bu. "Ngo Heng Mie Cong Pu llmu Langkah Ajaib!"Lie Ceng Loan segera mengerahkan ilmu tersebut, maka dirinya ter!uput dari serangan orang berbaju putih itu, Walau demikian tak urung keringat dinginnya mengucur"He he!" Orang berbaju putih itu tertawa aneh, "Bagus sekali! Engkau masih bisa menghindar di bawah senjata anehku! Coba lihat bisa menghindar berapa lama!""Pasti kusambut seranganmu!" sahut Lie Ceng Loan, lalu bersiul panjangsambil mengerahkan ilmu pedangnya, seketika tampak pedangnya berkelebatan, sehingga yang tampak hanya sinar putih, tidak tampak waktu bersamaan, Bee Kun Bu telah berhasil mengalahkan ke dua lawan nya. Kemudian secepat kilat ia melesat ke arah Lie Ceng Loan dan langsung menyerang orang baju putih itu dengan ilmu pedang Hun Kong Kiam Hoat, yakni Tui Hun Cap Ji Kiam Dua Belas jurus Mengejar Setan.Kacaulah orang baju putih itu, sehingga dirinya nyaris tertusuk pedang Lie Ceng Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan menyatukan diri menyerang orang baju putih, sehingga membuat orang baju putih itu terdesak"Adik Loan!" Bee Kun Bu memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya pada Lie Ceng Loan, "Apakah musuh berada di sini semua ? Kenapa kalian tidak bisa melawan mereka ?M"Masih ada satu orang yang telah menerjang ke dalam gua!" Lie Ceng Loan memberitahukan"Oh?" Bee Kun Bu terkejut "Siapa mereka itu dan di mana guru-guru kita?""Guru dan Supek telah mereka tangkap!" sahut Lie Ceng Loan dan nyaris Kun Bu terkejut bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi lamban, Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh orang berbaju putih itu. ia langsung melesat pergi dan bersiul Kun Bu tidak mengejarnya, melainkan bertanya pada Lie Ceng Loan yang sedang terisak-isak."Bagaimana guru bisa ditangkap mereka?""Kakak Bu. " Lie Ceng Loan menarik nafas, ia tahu BeeKun Bu pasti mempersalahkannya. "Panjang sekali kalau dituturkan, maka lebih baik kita melawan musuh dulu!"Bee Kun Bu masih ingin mengucapkan sesuatu, namun terdengar lagi siulan panjang orang berbaju putih, Mendadak tampak sosok bayangan melesat ke luar dari dalam gua ke arah orang baju putih itu, Begitu melihat orang berbaju putih tinggi besar itu, terkejutlah Lie Ceng Loan."Hati-hati Kakak Bu!" Lie Ceng Loan segera memberitahukan "Kakak Pek masih tidak mampu melawannya!"Tepat di saat itu, orang berbaju putih yang bertarung tadi berseru pada orang baju putih tinggi besar"Bereskan ke dua orang itu!"Orang berbaju putih tinggi besar tidak menyahut, tapi langsung melesat ke arah Bee Kun Bu dan Lie Ceng menyaksikan gerakan orang berbaju putih tinggi besar itu, Bee Kun Bu mengeluarkan suara kaget"Eeeeh?"Pada waktu bersamaan, orang berbaju putih tinggi besar itu telah menerjang ke arahnya, Lie Ceng Loan membentak nyaring dan sekaligus menggerakkan pe-dangnya, dengan jurus Khie Hong Sen Ciauw Burung Hong Mengembangkan Sayap Dan Mematuk.Wa!au Bee Kun Bu amat terkejut tapi ia masih sempat menyerang orang berbaju putih tinggi besar itu dengan jurus Ku Hoa Chun le Bunga Di Hujan Musim Semi- Dua pedang berkelebatan ke arah orang berbaju putih tinggi besar itu, bahkan juga mengeluarkan suara mendesir- berbaju putih tinggi besar itu tidak berkelit Namun begitu ia menggerakkan tangannya, ke dua pedang itu langsung tereengkeram, serangan itu sangat aneh, sehingga membuat Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan tidak berani menyerang lagi. Ketika ingin menarik pedang masing-masing, mereka merasa tertekan oleh tenaga yang amat dahsyat Tekanan itu membuat badan mereka ter-goncang, Tangan mereka yang menggenggam pedang pun terasa ngilu, Kalau Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan tidak melepaskan pedang masing-masing itu, diri mereka pasti karena itu, mereka serentak melepaskan pedang masing-masing, lalu secepat kilat meloncat ke belakangKe dua pedang itu telah berpindah ke tangan orang berbaju putih tinggi besar Tampak tangan orang itu bergerakPlak! Plak! Ke dua pedang itupun patah. Kemudian tiba- tiba orang berbaju putih tinggi besar itu mengibaskan tangannya seketika ke dua kutungan pedang meluncur laksana kilat ke arah Bee Kun Bu dan Lie Ceng menyaksikan kepandaian orang berbaju putih tinggi besar itu, Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan terkejut bukan main sehingga meloncat mundur Belum juga rasa terkejut mereka hilang, ke dua kutungan pedang itu telah meluncur secepat kilat ke arah Kun Bu dan Lie Ceng Loan sudah tidak bisa berkelit pada waktu bersamaan terdengarlah suara bentakan nyaring di dalam gua Thian Kie, menyusul tampak pula meluncur dua titik cahaya putih laksana kilat ke arah kutungan pedang Trang! Terdengar suara benturan Luncuran kutungan pedang itu pun jadi berubah arah. Di saat itu tampak pula berkelebat sosok bayangan dari gua. sedangkan Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan terluput dari serangan kutungan pedang itu."Kun Bu, adik Loan!" Suara Pek Yun Hui. "Biar aku yang menghadapi guru! Kalian berdua menghadapi orang itu!"Ternyata tadi Pek Yun Hui menyambitkan dua butir mutiara ke arah kutungan pedang yang meluncur ke arah Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan, sehingga mereka berdua terluput dari bahaya itu."Engkau bilang apa?" Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan terkejut, karena tadi Pek Yun Hui menyebut orang berbaju putih tinggi besar itu guru."Nanti saja dituturkan! cepatlah kalian hadapi orang berbaju putih itu! jangan berbelas kasihan padanya!" sahut Pek Yun Hui yang sudah mulai menghadapi orang berbaju putih tinggi besar dengan ilmu Ngo Heng Mie Cong Pu."Kakak Pek, orang itu ayah angkatku?" tanya Bee Kun Bu. "Cepat serang orang berbaju putih itu!" bentak Pek pernah Pek Yun Hui bersikap demikian terhadap Bee Kun Bu, Maka Bee Kun Bu tahu, bahwa urusan pasti gawat sekali, Kalau tidak, bagaimana mungkin Pek Yun Hui bersikap demikian?Oleh karena itu, Bee Kun Bu langsung bersiul panjang sambil melesat ke arah orang berbaju putih itu. Lie Ceng Loan juga tidak mau ketinggalan, ia pun langsung melesat ke berdua mengerahkan ilmu Ngo Heng Mie Cong Pu. Maka tampak dua sosok bayangan berkelebatan tak menentu mengarah pada orang berbaju putih Plak! Bahu orang berbaju putih telah terpukul dua kali. Betapa gusarnya orang berbaju putih itu, sebab ke dua pukulan itu membuat badannya bergoyang-goyang, sehingga nyaris terjatuh. Secepat kilat Bee Kun Bu mencengkeram lengannya, Begitu melihat Bee Kun Bu mencengkeram lengan orang berbaju putih itu, Lie Ceng Loan segera menyerangnya dengan tangan orang berbaju putih itu. ia tidak tahu harus bagaimana mengelak justru di saat itu, Bee Kun Bu telah berhasil mencengkeram lengan orang berbaju putih itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Lie Ceng kilat ia menghantam lengan orang berbaju putih Senjata aneh orang berbaju putih terpental sesungguhnya orang berbaju putih itu berkepandaiantinggi, namun bagaimana mungkin melawan serangan- serangan yang dilancarkan Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan?Karena Lie Ceng Loan memukul lengan orang berbaju putih itu, maka Bee Kun Bu melepaskan cengkeramannya. Kalau tidak pukulan Lie Ceng Loan akan terhalang-Orang berbaju putih itu langsung melesat pergi sambil bersiul aneh, kemudian berseru."Cepat pergi! Besok ke mari lagi!"Beberapa orang berbaju putih yang terluka itu segera kabur, Begitu pula orang berbaju putih yang bertarung dengan Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan, Orang berbaju putih tinggi besar yang bertarung dengan Pek Yun Hui juga ikut melesat Kun Bu dan Lie Ceng Loan ingin mengejar, tapi Pek Yun Hui segera mencegah mereka."Jangan mengejar!"Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan menurut Mereka yakin, Pek Yun Hui pasti mempunyai alasan tertentu mencegah mereka mengejar orang-orang berbaju putih itu. Di saat itu, tampak Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu berjalan ke luar dari dalam gua."Kalian berdua harus menyediakan rangsum sebelum hari gelap." ujar Pek Yun Hui pada mereka. "Dan ingat, jangan sampai bertemu orang-orang berbaju putih!"Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu mengangguk, lalu segera melesat pergi."Apakah orang-orang baju putih itu masih akan ke mari?" tanya Bee Kun Bu."Saat ini aku tidak berani memastikannya," jawab Pek Yun Hui. "Namun ada baiknya kita berjaga-jaga.""Kakak Pek!" tanya Lie Ceng Loan, "Benarkah orang berbaju putih tinggi besar itu Paman Na?"Pek Yun Hui menarik nafas, dan sepasang matanya tampak bersimbah air. Lama sekali barulah ia menyahut"Sebetulnya aku sudah bereuriga, Di kolong langit ini bagaimana mungkin masih ada orang lain yang memiliki ilmu silat Kui Goan Pit Cek? Lagipula orang berbaju putih itu bentuknya mirip guru." Pek Yun Hui memberitahukan "Ketika aku memasuki ruang dalam, Kim Eng Hauw menceritakan bahwa dia melihat dengan mata kepala sendi ri, orang-orang berbaju putih itu menggantikan jubah guru dengan pakaian putih, kemudian juga memakaikan kedok kulit manusia di muka guru, Setelah mendengar itu, barulah aku pereaya kalau orang berbaju tinggi besar itu Na Hai Peng, guruku.""Ayah angkat cuma tidak waras, kenapa menuruti perintah orang berbaju putih itu?" tanya Bee Kun Bu heran."Sudah pasti ada sebab musababnya," jawab Pek Yun Hui. "Aku sama sekali tidak tahu, tapi aku yakin Gin Tte Suseng mengetahuinya.""Kalau begitu, mari kita ke dalam bertanya pada Gin Tie Suseng!" ujar Bee Kun Bu dan langsung melesat ke dalam gua Thian Kie. ******Bab ke 58 - Urusan Yang Merupakan Teka-TekiBee Kun Bu sudah sampai di ruang dalam, akan tetapi Gin Tie Suseng justru tidur Kun Bu, Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan memang ingin segera mengetahui urusan itu, namun Gin Tie Suseng sedang tidur pulas, Keadaan itu ada baiknya bagi Gin Tie Suseng, maka mereka bertiga tidak mau mengusiknya."Kakak Bu!H ujar Lie Ceng Loan, "Tentunya selama itu engkau tidak bertemu dengan paman Na, tapi kenapa begitu lama baru ke mari?""Dalam perjalanan, aku bertemu urusan aneh," sahut Bee Kun Bu dan menambahkan "Sebelum aku menuturkan urusan itu, engkau tuturkan dulu cara bagaimana guru-guru kita diculik orang!"Lie Ceng Loan segera menutur tentang dirinya bertemu Co Hiong, kemudian bertemu dua orang berbaju putih dan Kun Lun Sam Cu mengikuti mendengar penuturan Lie Ceng Loan, Bee Kun Bu berpikir keras dengan kening berkerut-kerut, Berselang sesaat, barulah ia membuka mulut"Kalau begitu, guru bertiga pasti di bawah perintah orang, kan?""Paman Na yang berkepandaian begitu tinggi masih tidak terluput dari itu, apalagi guru-guru kita," jawab Lie Ceng Loan dan bertanya, "Kakak Bu, apakah engkau juga berteman orang-orang berbaju putih dalam perjalanan?"Tidak." Bee Kun Bu menggelengkan kepala, "Urus-an itu membuatku tidak habis berpikir hingga sekarang.""Urusan apa itu?" tanya Lie Ceng Loan dan Pek Yun Hui serentak Bee Kun Bu tampak mengerutkan kening, lama sekali barulah menutur tentang apa yang dialaminya dalam ketika berpisah dengan Lie Ceng Loan, Bee Kun Bu terus menuju ke arah timur Setelah hari mulai gelap, ia pun tiba di sebuah kota kecil Di kota itu ia membeli makanan lalu melanjutkan perjalanan malam, tempat-tempat yang dilalui Bee Kun Bu semakin sunyi. ia tidak tahu ada tempat apa di arah timur itu, sebab ia tidak pernah ke tempat tersebut Belum tentu Na Hai Peng terus menuju arah timur, kenapa tidak mencoba ke arah lain? Pikir Bee Kun saat ia sedang berpikir, mendadak terdengar derap kaki kuda di belakangnya, Bee Kun Bu segera menoleh ke belakang, tampak segerombolan orang sedang melakukan perjalanan Kun Bu tereengang, Kalau mereka itu kaum pedagang, tidak seharusnya melakukan perjalanan malam, Seandainya mereka bukan kaum pedagang, mungkinkah kaum rimba persilatan?Berpikir sampai di sini, Bee Kun Bu segera melesat ke belakang pohon untuk menyembunyikan diri Tak seberapa lama kemudian, muncullah serombongan kuda dan tampak pula beberapa kereta kuda yang terus berpacu ke memperhatikan kuda-kuda dan kereta itu, Bee Kun Bu terkejut karena ia tidak melihat seorang pun, ia masih ingat, bahwa itu rombongan pedagang, yang dikepalai oleh orang tua berjenggot yang pernah ditemuinya ketika bersama Lie Ceng tetapi, saat ini tidak tampak seorang pun, sehingga kuda-kuda itu berlari serabutan, Setelah memperhatikan dengan seksama, Bee Kun Bu melihat ada seseorang mendekap di punggung kuda. Karena gelap dan kuda itu berlari kencang, maka Bee Kun Bu tidak melihat jelas wajah orang itu, Karena merasa heran dan teringat pula orang tua berjenggot agak tahu tentang Mo Kui Ceh Yi, maka Bee Kun Bu segera melesat ke luar mengejar kuda itu, dengan harapan yang mendekap di punggung kuda itu orang tua lama kemudian, ia telah berhasil menyusul kuda yang dikejarnya, Ternyata kuda itu menarik kereta, Segeralah Bee Kun Bu meloncat ke dalam kereta, Bam saja ia duduk tangannya telah menyentuh sesuatu, Bee Kun Bu menolehkan kepalanya, ia terkejut karena yang di-sentuhnya itu ternyata mayat Bahkan di dalam kereta itu terdapat enam sosok mayat, yang semuanya mayat kaum Kun Bu mengerutkan kening, ia tidak habis berpikir, kenapa kaum pedagang itu dibunuh? ia menarik nafas panjang, lalu meninggalkan kereta Kun Bu lalu meloncat ke kereta lain, Ternyata di dalam kereta itu pun terdapat beberapa sosok mayat, Karena merasa penasaran, ia melesat ke kereta yang lainnya lagi, Di sana juga ada beberapa sosok Bee Kun Bu langsung mendidih lantaran kekejaman si pembunuh, sebab ia menemukan belasan mayat yang semuanya kaum Kun Bu melesat ke luar dari dalam kereta sambil bersiul panjang, lalu mengejar kuda yang di depan, Ternyata tadi ketika ia meloncat ke dalam kereta, kuda yang menarik kereta itu terkejut sehingga berlari sekencang-kencangnya membuat tali yang mengikat di kereta itu menemukan begitu banyak mayat, Bee Kun Bu mengira orang yang mendekap di punggung kuda itu si pembunuh, Maka begitu berhasil menyusul kuda itu, ia pun melayang ke atas sambil menyambar orang tersebutAkan tetapi, sungguh mengherankan, sebab orang itu sama sekali tidak melawan, sehingga dengan mudah sekali Bee Kun Bu menyambarnya. sepasang mata orang itu mendelik, mulutnya berlumuran darah dan sudah mati. Siapa orang itu? Ternyata orang tua berjenggotBee Kun Bu tertegun, ia melihat tangan orang tua berjenggot menggenggam sebilah belati tajam menancap di badan Kun Bu menaruh mayat itu, sedangkan kuda terus berlari seakan tahu jalan, Tak lama kuda itu membelok ke kiri dan terus berlari lagi, Kuda-kuda lain terus mengikuti kuda beberapa saat kemudian, kuda itu berhenti di depan sebuah rumah besar, justru mengherankan, di tempat yang amat sunyi sepi ini terdapat sebuah rumah yang begitu Kun Bu meloncat turun dari punggung kuda itu, lalu mengamati rumah tersebut Suasana di dalam rumah itu sunyi sepi, kelihatannya tidak ada orang, Bee Kun Bu berpikir, kini ia telah tiba di tempat ini, bagaimana cara memasuki rumah itu untuk melihat-lihat? Setelah berpikir demikian, Bee Kun Bu langsung melesat ke arah pintu rumah itu, Kebetulan pintu rumah itu terbuka sedikit"Siapa penghuni rumah ini? Apakah ada di dalam rumah?" teriak Bee Kun tiada sahutan dari dalam, Kemudian Bee Kun Bu berteriak lagi, namun tetap tiada sahutan dari dalam, Karena itu, ia langsung mendorong pintu Krek! pintu itu Bee Kun Bu merasa ada angin yang amat dingin menghembus ke luar, membuat sekujur badannya jadi melongok ke dalam, tampak ruangan yang sangat besar dan indah, namun sunyi sekali, Bee Kun Bu segera menghunus pedangnya, melangkah ke dalam. Setelah berada di ruangan besar itu, Bee Kun Bu berdiri diam, lalu menyalakan semacam batu yang bisa mengeluarkan api. Begitu batu itu menyala, keadaan di ruangan itu tampak Kun Bu termasuk pemberani, namun ketika menyaksikan keadaan ruang tersebut, ia tampak terkejut sekali dengan mata terbeliak lebaria menyurut mundur beberapa langkah, lalu menyalakan lilin yang ada di situ, barulah memandang dengan penuh perhatian Di tengah-tengah ruang itu terdapat sebuah meja bundar yang penuh makan an. Di atas meja itu tampak belasan orang dalam posisi tongku rap. Orang-orang itu telah mati dan dibagian belakang kepala mereka terlihat ada sebuah lubang kecil, Darah masih mengalir ke luar dari lubang kecil Kun Bu melihat semangkok kuah di atas meja. Dari kuah itu masih tampak sedikit uap panas mengepul ke atas, itu membuktikan peristiwa mengenaskan itu belum lama terjadiBee Kun Bu memeriksa semua orang yang telah mati itu, Ternyata kaum wanita juga tidak terluput, bahkan juga termasuk anak kecil Akhirnya Bee Kun Bu sampai di kandang kuda, Tampak seseorang tergeletak di atas tumpukan rumput, dan masih bergerak sedikit"Siapa pembunuh itu?" tanya Bee Kun Bu. "Cepat katakan, aku akan membalas dendam kalian!"sepasang mata orang itu mendelik-delik, kemudian mengucapkan beberapa patah kata yang tak dimengerti Bee Kun Bu, yakni bahasa suku di luar perbatasan"Engkau tidak bisa berbahasa Han?" tanya Bee Kun Bu. Orang itu menatap Bee Kun Bu dengan mata redup, lalu bersusah payah mengucapkan beberapa patah dalam bahasa Han."Se... setan iblis..." usai mengucapkan itu, nafasnya putus. Setan Iblis! Tentunya berhubungan dengan Mo Kui Ceh Yi,pikir Bee Kun Bu. Setelah itu, ia meloncat ke punggung kuda dan langsung meninggalkan tempat itu, Tak seberapa lama kemudian, kuda itu telah berlari belasan yang dilalui Bee Kun Bu, tetap sunyi sepi, Kuda itu masih terus berlari kencang ke depan, Tak lama hari mulai Kun Bu memandang ke depan, tampak sebuah pura kecil di pinggir jalan, Walau jarak masih begitu jauh, tapi Bee Kun Bu telah melihat jelas ada seseorang duduk di dalam pura kecil itu, Setelah dekat, ternyata itu cuma orang-orangan dari dari rumput itu duduk menghadap ke arah selatan, Sebelah tangannya terangkat ke atas menunjuk ke arah selatan Kun Bu berpikir, itu pasti merupakan suatu kode dari kaum golongan hitam. Bagaimana kalau mengikuti arah yang ditunjuk orang-orangan itu?Setelah berpikir demikian, Bee Kun Bu mengambil keputusan ke arah selatan, Tak lama, kuda itu berlari yang sampai sepuluh mil, tampak lagi orang-orangan rumput berdiri di atas dahan pohon, Sebelah tangannya juga menunjuk ke arah selatan Kini Bee Kun Bu semakin yakin, bahwa orang-orangan itu merupakan suatu kodeHari ini Bee Kun Bu telah menempuh jalan begitu jauh, Setiap belasan mil pasti terdapat sebuah orang-orangan rumput yang tangannya menunjuk ke arah selatan. Walau sudah sehari penuh Bee Kun Bu terus mengejar yang dilihatnya cuma orang-orangan rumput, tidak melihat orang yang dikejarnya, Kalau orang lain, mungkin sudah putus asa. Namun Bee Kun Bu bukan orang yang gampang putus asa. ia masih terus mengejarHari berikutnya, sudah tidak tampak orang-orangan rumput lagi, Tempat yang dilaluinya juga terlihat banyak orang berlalu Kun Bu terus berpikir Tiba-tiba ia teringat sesuatu, yakni setiap jarak belasan mil, pasti tampak sebuah papan dipantek di atas pohon di pinggir jalan, Papan tersebut bergambar orang yang tangannya menunjuk ke suatu teringat itu, Bee Kun Bu tidak begitu ter-buru-buru mengejar lagi seperti kemarin Dengan adanya tanda tersebut, ia yakin akan dapat menemukan sarang mereka. Maka ketika malam tiba ia bermalam di penginapan .Beberapa hari berturut turut ia terus menuju selatan, Hari ini ia telah tiba di Kang Lam dan tanda itu tetap tetapi, gambar orang yang dipapan menunjuk ke arah timur, kadang-kadang menunjuk ke arah barat, membuat Bee Kun Bu harus menempuh perjalanan beberapa hariTerakhir, gambar orang disebuah papan menunjuk ke arah gunung Kwat Cong San. Tentunya mencengangkan Bee Kun Bu. Oleh karena itu, ia langsung menuju gunung Kwat Cong memasuki kawasan gunung Kwat Cong San, ia melihat dua buah papan bergambar orang menunjuk ke arah gua Thian Kie. Maka Bee Kun Bu langsung menuju gua tersebutSeusai Bee Kun Bu menutur, Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu muncuL Mereka berdua membawa berbagai macam buah-buahan dan makanan "Kalian berdua bertemu orang-orang berbaju putih?" tanya Pek Yun Hui."Tidak," sahut Giok Siauw Sian Cu."Oh?" Pek Yun Hui tampak berpikir, kemudian melanjutkan "Kun Bu, apa yang engkau lihat itu tentu perbuatan orang- orang berbaju putih, Namun entah apa sebabnya tadi mereka mau mengundurkan diri, Mungkin mereka akan ke mari lagi esok. Maka kita waspada dan berjaga-jaga, tidak boleh lengah sedikit pun."Kemudian Pek Yun Hui menyuruh Pang Siu Wie menutup pintu batu di dalam gua. Pada waktu bersamaan, Gin Tie Suseng Ceng Loan, Pek Yun Hui dan Bee Kun Bu langsung memandangnya."Saudara Kim, apakah engkau sudah merasa mem-baik?" tanya Pek Yun Hui."Terimakasih Saudara Bee engkau telah menyelamatkan nyawaku!" ucap Gin Tie Suseng. Karena Bee Kun Bu adalah lelaki, maka ucapannya di arahkan pada Bee Kun ia pun mengira bahwa Bee Kun Bu yang mengobati lukanya."Saudara Kim, aku baru tiba di sini," sahut Bee Kun Bu. "Bukan aku yang menolongmu.""Kalau begitu. " Wajah Gin Tie Suseng kemerah-merahan, "Siapa yang menolong diriku?"Pek Yun Hui menoleh, ia melihat Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu sudah usai menutup pintu batu di dalam gua, dan mereka berdua sedang menuju ke situ."Saudara Kim!" ujar Pek Yun Hui memberitahukan "Yang mengobatimu Giok Siauw Sian Cu."Betapa terharunya hati Gin Tie Suseng-Kim Eng Hauw, ia berusaha bangun tapi tidak bisa. "Saudara Kim!" Giok Siauw Sian Cu segera men- dekatinya, "Engkau berbaring saja! jangan sembarangan bergerak!""Terimakasih Kakak!" ucap Gin Tie Suseng dan mendadak menggenggam tangan Giok Siauw Sian Cu."Eh?" Wajah Giok Siauw Sian Cu langsung memerah sambil mengibaskan tangannya "Kenapa engkau jadi cerewet?"Walau bernada gusar, namun mengandung pun dapat melihat bahwa Giok Siauw Sian Cu sangat menaruh perhatian pada Gin Tie Suseng."Saudara Kim!" ujar Lie Ceng Loan yang polos itu. "Walau Kakak Giok Siauw menegur, namun hatinya sangat girang karena Saudara Kim sudah membaikiWajah Giok Siauw Sian Cu bertambah merah, bahkan tampak tersipu."Adik Loan, jangan banyak omong!" tegur Pek Yun Hui. "Eh?" Lie Ceng Loan terbelalak "Aku tidak banyak omongkok. Lagipula aku pun tidak salah omong.""Memang benar." Pek Yun Hui tersenyum Tapi lihatlah wajah Giok Siauw Sian Cu itu!""Nona Pek!" Giok Siauw Sian Cu membanting kaki "Engkau juga mentertawakanku?"Tentunya tidak," sahut Pek Yun Hui sambil tertawa kecil. "Sudahlah! Kesampingkan dulu urusan yang menyangkutperasaan ini!" sela Pang Siu Wie mendadak "Lebih baik kita mendengarkan penuturan Gin Tie Su-seng, kenapa dia sampai ke Pang Siu Wie mengheningkan suasana, sedangkan Gin Tie Suseng sudah tahu bagaimana perasaan Giok Siauw Sian Cu terhadapnya Sebab dia yang mengobati Gin Tie Siiseng, otomatis harus membuka semua pakaiannya "Waktu apa sekarang?" tanya Gin Tie Suseng sambil memandang Giok Siauw Sian Cu."Sudah sore," sahut Pek Yun Hui."Kalau begitu. " Air muka Gin Tie Suseng tampak berubah"Na Locianpwee sudah ke mari kan?""Saudara Kim, apa sebabnya engkau bertanya de-mikian? Lebih baik Saudara Kim menutur dari awal saja," ujar Pek Yun Hui."Aaakh. !" Gin Tie Suseng menarik nafas panjang,"Urusan ini memang panjang sekali kalau dituturkan Aku hanya tahu kini Na Locianpwee telah dikendalikan oleh seorang Maha iblis dari Mo Kui Ceh Yi, sehingga jadi tidak waras dan pasti ke mari mencariku.""Dia memang sudah ke mari, namun kami berhasil mengusirnya Giok Siauw Sian Cu memberitahukan Tapi akan ke mari lagi esok.""Untung masih ada waktu, maka kita bisa bersiap-siap," sahut Gin Tie Suseng sambil menarik nafas lagi."Apa artinya Mo Kui Ceh Yi?" tanya Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan serentak, kemudian Bee Kun Bu melanjutkan "Kini bukan cuma ayah angkat, bahkan guru-guru dan Pat Pie Sin Ong-Tu Wee Seng pun sudah tidak waras pula."Mendengar itu, wajah Gin Tie Suseng langsung berubah kelam, bahkan sekujur badannya pun tampak gemetar, dan mulutnya pun membungkam."Saudara Kim, apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Pek Yun Hui."Kalau begitu, dia memang sudah siap bergerak." sahut Gin Tie Suseng tiada ujung pangkalnya."Saudara Kim!" Pek Yun Hui heran. "Siapa yang engkau maksudkan itu?" "Kalau disuruh bilang siapa orang itu, aku sendiri pun tidak tahu." ujar Gin Tie Suseng."Kalau begitu, lebih baik engkau menuturkan tentang kejadian itu." Pek Yun Hui menatapnya, -"Baik!" Gin Tie Suseng mengangguk "Aku akan memu!ainya ketika bertemu Na Locianpwee."Seketika juga semua orang mendengar dengan penuh perhatian Wajah mereka pun tampak ketika menuju gunung Tay Pah San bernama Kuang Ti Taysu, pada hari berikutnya mereka guru dan murid melihat empat orang berbaju putih, melesat laksana kilat melewati sisi mereka. Dalam waktu sekejap, ke empat orang itu telah lenyap dari pandangan Tie Suseng tidak begitu memperhatikan ke empat orang itu, ia menganggap ke empat orang itu kaum Bu Lim yang sedang melakukan perjalanan tetapi, ketika ia menoleh ke belakang, tampak Kuang Ti Taysu berdiri tertegun di tempatTentunya mengherankan Gin Tie Suseng, sebab ia pun menyaksikan wajah gurunya yang tampak begitu terkejut Karena itu ia segera berseru."Guru! Guru!"Walau Gin Tie Suseng memanggil berkali-kali, tapi Kuang Ti Taysu tetap tidak menyahut Tereenganglah Gin Tie Suseng, dan segera mendekati gurunya."Guru! Guru!" panggilnya lagi."Oh!" Kuang Ti Taysu tersentak dan segera menyahut "Mari kita cepat pergi!""Guru!" Gin Tie Suseng terheran-heran menyaksikan sikap Kuang Ti Taysu, "Guru barusan kenapa?" "Aku. " Kuang Ti Taysu tampak tertegun, "Aku tidak apa-apa. Mari kita melanjutkan perjalanan!"Karena Kuang Ti Taysu menyahut demikian, Gin Tie Suseng bertambah curiga."Guru. ""Anak Hauw, engkau tidak perlu bertanya lagi," potong Kuang Ti Taysu."Guru, sebetulnya apa yang terjadi?" Gin Tie Suseng tetap bertanya, karena merasa penasaran sekali"Lebih baik engkau tidak tahu apa-apa," sahut Kuang Ti Taysu serius. "Oleh karena itu, aku tidak akan mem- beritahukan.""Guru!" Gin Tie Suseng langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kuang Ti Taysu."Eh? Kenapa engkau?""Murid tahu kebaikan guru, Demi keselamatan mu-rid, maka guru berkeras tidak mau memberitahukan apa-apa. Tapi biar bagaimana pun, murid harus tahu. Guru, jangan menganggap murid sebagai orang luar!""Cepatlah engkau bangun!""Ka!au guru tidak memberitahukan, murid tidak akan bangun."Kuang Ti Taysu tertegun mendengar ucapan muridnya, Maka mendadak wajahnya berubah gusar dan membentak sengit"Engkau ingin terus berlutut di sini, terserah!" Kuang Ti Taysu berjalan pergi sambil membawa toya bajanya."Guru!" seru Gin Tie Suseng Ti Taysu berhenti, maka giranglah hati Gin Tie Suseng. Akan tetapi, tiba-tiba Kuang Ti Taysu melintangkan toya bajanya, sikapnya seperti sedang menghadapi musuh tangguh, Gin Tie Suseng tereengang dan mendongakkan kepala, ia melihat ke empat orang berbaju putih telah kembali ke itu, Gin Tie Suseng yakin ada hubungannya dengan ke empat orang berbaju putih itu, maka Kuang Ti Taysu tidak mau memberitahukan apa-apa melihat ke empat orang berbaju putih, Gin Tie Suseng segera bangkit berdiri, dan sekaligus mencabut suling peraknya."Anak Hauw! Cepat Pergil Semakin jauh semakin baik" seru Kuang Ti Taysu mendadak"Guru bilang apa?" Gin Tie Suseng seakan tidak pereaya apa yang didengarnya kemudian mendekati Kuang Ti tetapi, Kuang Ti Taysu mengayunkan toya bajanya ke arah Gin Tie Suseng, Betapa terkejutnya Gin Tie Suseng dan cepat-cepat berkelit"Kalau engkau masih tidak mau pergi, mulai sekarang putus hubungan guru dan murid!" bentak Kuang Ti Taysu."Guru. " Gin Tie Suseng memandang ke depan. Ke empatorang berbaju putih itu sudah makin mendekat ia tahu akan ketegasan gurunya, Kalau saat ini ia tidak pergi, jelas dirinya akan diusir dari pintu perguruan "Guru, murid menurut perintangGin Tie Suseng melesat, namun tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi di belakang sebuah pohon yang tak jauh dari tempat ke empat orang berbaju putih pun makin dekat, dan air muka Kuang Ti Taysu bertambah seberapa lama kemudian, ke empat orang berbaju putih itu sudah berada di hadapan Kuang Ti Taysu, dan sekaligus mengurungnya. Badan Kuang Ti Taysu berputar, toya bajanya juga berputar-putar ke arah ke empat orang berbaju putih, itulah jurus Coh Im Pik Ya Menghalau Suara Me-mecahkan Tebing.Ke empat orang berbaju putih menggeram, lalu menyurut mundur jurus yang di keluarkan Kuang Ti Taysu sama sekali tidak dapat melukai seorang pun dari mereka."Hweeshio tua!" bentak salah seorang berbaju putih, Tadi kalian dua orang, ke mana yang seorang itu?""Sudah pergi!" sahut Kuang Ti Taysu."Hm!" dengus orang berbaju putih, kemudian mengibaskan tangannya seraya memberi perintah kepada dua orang berbaju putih lainnya, "Cepat kalian kejar orang itu?"Ke dua orang berbaju putih mengangguk lalu segera melesat pergi, Kuang Ti Taysu ingin menghadang, tapi terburu dirintangi orang berbaju putih itu."Kuang Ti Taysu!" bentak orang berbaju putih itu sambil tersenyum dingin, "Engkau memang bernasib sial, karena bertemu kami berempat? sedangkan gerak-gerik kami tidak boleh sampai orang lain tahu! Oleh karena itu, kami harus membunuhmu!"Gin Tie Suseng yang bersembunyi di belakang pohon baru paham, ternyata gurunya mengenal ke empat orang berbaju putih itu, Mereka ingin membunuh Kuang Ti Taysu, apakah mereka mampu? Ketika Gin Tie Suseng sedang berpikir, terdengarlah suara bentakan Kuang Ti Taysu."Jangan banyak omong!" Kuang Ti Taysu pun mengayunkan toya bajanya, Begitu cepatnya gerakan toya bajanya itu, sehingga menimbulkan suara berbaju putih itu segera berkelit Seorang berbaju putih yang berdiri di belakang Kuang Ti Taysu, langsung menggerakkan tangannya, dan seketika tampak empat titik cahaya meluncur ke arah punggung Kuang Ti Taysu. Tanpa menoleh Kuang Ti Taysu memutarkan toya bajanya ke belakang, dan terdengarlah suara benturanTing! Ting! Ting! Ting! Ke empat senjata rahasia itu terpukul jatuh."Cepat turun tangan! Kita masih ada urusan penting!" ujar salah seorang berbaju putih pada itu mengangguk Mereka berdua lalq menghunus pedang masing-masing, sekaligus menyerang ke arah Kuang Ti Taysu, Ke dua pedang itu berkelebatanBetapa terkejutnya Gin Tie Suseng, sebab ia tahu ke dua orang berbaju putih itu berkepandaian amat tinggi Di saat itu terdengar suara teriakan Kuang Ti Taysu, dan tampak toya bajanya,melayang ke melihat toya baja Kuang Ti Taysu melayang ke atas, Gin Tie Suseng terkejut sebab ia tahu itu adalah jurus Hui Liong Tou Jit Naga Terbang Menembus Matahari, Kalau tidak dalam keadaan bahaya sekali, jurus tersebut tidak akan di keluarkanSetelah menyaksikan itu, Gin Tie Suseng tampak tertegun, karena tidak tahu apa yang harus diperbuatSementara toya baja Kuang Ti Taysu telah berhasil menghantam salah seorang berbaju putih hingga mulutnya menyemburkan darah segar, kemudian terkulai Akan tetapi, sebilah pedang pun berhasil menembus dada Kuang Ti sampai di sini, Gin Tie Suseng sudah tiada keberanian untuk melihat lagi. Maka ia memejamkan matanya, Namun mendadak ia tersentak sendiri Gurunya dalam bahaya, sedangkan dirinya malah bersembunyiKarena berpikir demikian, ia langsung melesat ke tuan Sebelum kakinya menginjak tanah, ia melihat orang berbaju putih itu telah melukai kaki gurunya dengan Ti Taysu memekik keras, kemudian menyerang orang berbaju putih itu dengan tangan kosong. "He he!" Orang berbaju putih itu tertawa dingin sambil menggerakkan pedangnya ke arah lengan Kuang Ti Tie Suseng telah sampai di tempat itu, dan sekaligus mengayunkan suling peraknya mengeluarkan jurus Sam Sing Cuh Goat Tiga Bintang Mengelilingi BuIan, Suling peraknya mengarah pada punggung orang berbaju putih berbaju putih itu terkejut, lalu secepat kilat ia berkelit Namun Gin Tie Suseng telah menyusulkan serangan Pit Hai Seng Poh Laut Tenang Menimbulkan Badai, Tampak suling peraknya berkelebatan bagaikan cahaya putih mengarah pada orang berbaju putih waktu bersamaan, Kuang Ti Taysu mencabut pedang yang menembus dadanya, lalu mendadak menyerang pinggang orang berbaju putih berbaju putih itu berhasil mengelak serangan Gin Tie Suseng, tapi tidak dapat menghindar serangan pedang Kuang Ti Taysu." jeritnya, ia lalu terkulai dengan pinggang berlumuran darah."Cepat,.!" seru Kuang Ti Taysu, tapi ia pun Tie Suseng masih ingat akan dua orang berbaju putih yang pergi mengejarnya, ia yakin bahwa tidak lama lagi mereka berdua akan kembali ke tempat ini. Kalau ke dua orang itu kembali, celakalah Kuang Ti Taysu dan Gin Tie itu, ia segera menyobek bajunya, kemudian secepatnya membalut dada gurunya yang terluka dengan sobekan bajunya, Setelah itu sebelah tangannya membawa toya baja, tangan yang sebelah lagi memapah gurunya meninggalkan tempat mil kemudian, terdengarlah suara siulan panjang di belakangnya, itu pertanda ke dua orang berbaju putih telah kembali ke tempat tadi. Gin Tie Suseng yakin, bahwa ke dua orang berbaju putih itu pasti akan mengejarnya dengan ginkang, sedangkan ia tidak bisa mengerahkan ginkang, sebab harus memapah gurunya dan membawa toya baja. LagipuIa, saat ini gurunya telah pingsan. Oleh karena itu, ia cepat-cepat memasuki rimba lalu bersembunyi disuatu tempatTak lama setelah ia bersembunyi bersama gurunya, tampak dua sosok bayangan putih melesat menuju ke depan. Ketika ia baru mau menarik nafas lega, ke dua orang berbaju putih sudah kembali lagi. Namun berselang sesaat, ke dua orang berbaju putih itu melesat pergi IagLBarulah Gin Tie Suseng menarik nafas lega, sementara hari sudah mulai gelap, Gin Tie Suseng memandang gurunya, ia melihat wajah gurunya semakin pucat pias, Sobekan baju yang membalut dada gurunya tampak memerah, ternyata luka bekas tusukan pedang itu masih mengucurkan darah."Guru.,." panggil Gin Tie Suseng."Suruh,., suruh pergi, engkau,., engkau kenapa tidak mau pergi?" Suara Kuang Ti Taysu lemah."Guru, kini sudah tiada bahaya lagi.""Engkau tahu apa?" bentak Kuang Ti Taysu, "Kini... engkau sudah dalam bahaya besar.""Guru, sebetulnya siapa musuh tangguh itu?" tanya Gin Tie Suseng, "Benarkah begitu lihay?""Anak Hauw.,.," Kuang Ti Taysu menarik nafas, "Aku... aku sudah tidak bisa bertahan lama. Setelah aku mati, engkau harus.,, harus pergi jauh! Jangan.,, jangan berniat membalas dendam!""Guru.,,." Gin Tie Suseng berduka sekali Tak terasa air matanya telah meleleh, "Maaf guru, tentang ini murid tidak bisa menuruti "Engkau,.,." Kuang Ti Taysu tampak gusar sekali, sehingga nafasnya memburu, "Binatang.,.!""Guru! Murid dan dua wanita Kwat Cong San sudah menjadi teman, Kepandaiannya mereka amat tinggi, Apa-kah mereka berdua masih tidak bisa membantu murid untuk membalas dendam? Guru, beritahukanlah siapa musuh tangguh itu?""Mo Kui Ceh Yi,.,." Kuang Ti Taysu menggeleng-gelengkan kepala, "Sulit dilawan dengan tenaga manusia, engkau jangan,.,.""Guru, apa artinya Mo Kui Ceh Yi? Jelaskanlah!" desak Gin Tie Suseng."lblis itu,.,." Suara Kuang Ti Taysu sudah semakin lemah, "Kalau sudah mulai bergerak, pertanda bencana telah tiba bagi rimba persilatan.""Guru!"Kuang Ti Taysu diam. Gin Tie Suseng segera memeriksa nadinya, ternyata sudah tidak berdenyut lagi, Betapa sedihnya Gin Tie Suseng, tapi ia justru tidak mengucurkan air Kuang Ti Taysu telah mati, Orang berbaju putih yang membunuh gurunya juga telah mati Namun mereka semua cuma merupakan anak buah, Lalu siapa pemimpin mereka ?Kuang Ti Taysu menyebut Moh Kui Ceh Yi, itu membuatnya tereengang, karena selama ini ia sama sekali tidak pernah mendengar nama itu. Tentunya Kuang Ti Taysu tahu jelas, tapi justru telah Tie Suseng termangu-mangu, lama sekali barulah ia mengubur mayat gurunya di tempat itu juga, Kemudian ia berlutut di hadapan makam itu sambil menangis sedih, Setelah larut malam, barulah ia berhenti mengambil keputusan, tidak akan kembali ke Tay Pah San, melainkan berangkat ke gunung Kwat Cong San untuk menemui Pek Yun Hui. Keputusan ini membuat dirinya langsung berangkat ke gunung Kwat Cong San, Dalam perjalanan ini, ia sama sekali tidak mengalami apa ini, Gin Tie Suseng sudah hampir tiba di gunung Kwat Cong San. Kalau sudah bertemu Pek Yun Hui, ia akan minta bantuannya untuk membalas dendam guru-nya, Bahkan akan menanyakan tentang Mo Kui Ceh Yi. Mungkin Pek Yun tahu tentang itu, sebab Pek Yun Hui adalah gadis yang amat cerdas. Demikian pikir Gin Tie Suseng sambil melanjutkan hampir tiba di gunung Kwat Cong San, walau sudah merasa lelah sekali, tapi ia sama sekali tidak beristirahat sejenak pun, masih terus melakukan perjalananPada saat hari sudah mulai terang, ia sudah mulai memasuki kawasan gunung Kwat Cong San, mendadak ia melihat ada cahaya di depan, sebelumnya ia tidak pernah datang di gunung Kwat Cong San, Maka ketika melihat cahaya itu, ia mengira Pek Yun Hui dan lainnya berada di tempat itu. Segeralah ia ke mendekati tempat itu, ia melihat ada bayangan- bayangan bergerak Ketika baru mau membuka mulut berseru, malah mendadak ia terperangah karena melihat tujuh delapan orang berbaju putih dan memakai kedok setan iblis sedang duduk di tempat itu mengelilingi api unggun, Dandanan mereka persis seperti orang berbaju putih yang membunuh gurunya, Karena itu, ia maju lagi agar lebih mendekap sekaligus bersembunyiSetelah bersembunyi ia lalu mengintip ke arah itu, seketika hatinya berdebar-debar tegang, Ternyata di antara mereka terdapat orang berjubah biru, yang tidak lain Na Hai membuat Gin Tie Suseng tereengang, Bagaimana mungkin Na Hai Peng bereampur dengan orang-orang berbaju putih itu? ia tahu jelas Na Hai Peng adalah orang gagah yang telah menolong mereka semua dari istana Pit Sia Kiong. Lama sekali ia memperhatikan Na Hai Peng. ia merasa ada keanehan pada diri Na Hai Peng, sebab Na Hai Peng terus berdiri mematung di Tie Suseng tahu betapa tingginya kepandaian Na Hai Peng. Selain Na Siao Tiap yakni putrinya, tiada orang lain yang dapat menyamai kepandaiannya, Namun saat ini, kenapa dia jadi begitu aneh?"Ambil pakaian putih, dan cepat ganti jubah birunya itu!" perintah salah seorang berbaju putih, "Orang ini berkepandaian tinggi, kita bisa memperalatnya."Tidak salah," sahut orang berbaju putih lain. "Kalau maha iblis tahu kita punya orang yang berkepandaian sedemikian tinggi, tentunya kedudukan kita akan naik."Setelah mendengar pembicaraan mereka, Gin Tie Suseng terkejut bukan main, karena ia tahu kini Na Hai Peng telah dikendalikan orang berbaju terkejutnya, Gin Tie Suseng tanpa sadar menyurut mundur selangkah dari tempat persembunyian Secara tidak langsung ia telah memperlihatkan tetapi, orang-orang berbaju putih itu sedang sibuk mengganti jubah biru Na Hai Peng dan memakaikan kedok setan iblis di mukanya, maka tidak mengetahui akan jejak Gin Tie menyaksikan semua itu, Gin Tie Suseng tahu urusan tersebut sangat gawat, harus segera memberitahukan pada Pek Yun Hui. Namun ketika ia baru mau meninggalkan tempat itu, mendadak ia mendengar pembicaraan orang-orang berbaju putih itu lagi."Keledai gundul Kuang Ti entah hilang ke mana? Muridnya bernama Kim Eng Hauw juga tiada jejaknya, Tapi orang-orang kita sedang mencarinya, dia pasti tidak bisa kabur" "Hm!" dengus salah seorang berbaju putih. "Bagai-mana mungkin mereka bisa meloloskan diri? Lebih baik kita bawa orang ini menerjang ke dalam gua Thian Kie."Mendengar ucapan itu, terkejut lah Gin Tie Suseng, Bahkan lebih terkejut lagi ketika melihat orang berbaju putih itu menarik Na Hai Peng menuju tempat persembunyian segeralah ia mengambil langkah seribu. "Siapa di situ?" bentak orang berbaju putih Tie Suseng terus kabur, namun sudah ada orang berbaju putih mengejarnya, Mati-matian Gin Tie Suseng mengerahkan ginkangnya, Tujuh delapan mi! kemudian, ia telah tersusul oleh dua orang berbaju Tie Suseng tidak banyak bicara, langsung menyerang mereka dengan suling peraknya, Ke dua orang berbaju putih tertawa terkekeh, lalu membentak"Ternyata engkau Gin Tie Suseng-Kim Eng Hauw!" "Sudah tahu kok masih mengantar nyawa ke mari?" sahutGin Tie Suseng, sekaigus menyerang mereka tetapi, muncul lagi dua orang berbaju putih dan membaurkan diri dengan ke dua temannya menyerang Gin Tie Tie Suseng tahu bahwa dirinya tidak bisa melawan mereka, Apalagi yang lain sudah muncul, ia pasti sulit meloloskan diri. Segeralah ia bersiul panjang, lalu kabur menggunakan tetapi, ke empat orang berbaju putih tidak membiarkannya meloloskan diri Mereka langsung menyerang Gin Tie Suseng dengan senjata rahasia, Gin Tie Suseng terpaksa berkelit, sehingga menghambat lari empat orang berbaju putih telah berhasil menyusulnya, dan sekaligus menyerangnya, Gin Tie Suseng terpaksa harus melawan, Puluhan jurus kemudian suling peraknya telah terlepas dari tangannya, Karena itu, ia harus melawan dengan tangan tetapi, bagaimana mungkin ia melawan mereka dengan tangan kosong? Sekujur badannya menjadi sasaran bacokan golok dan tusukan pedang, Di saat nyawanya sudah berada di ujung tanduk, mendadak dari kejauhan terdengar dua kali siulan mendengar siulan panjang itu, ke empat orang berbaju putih itu langsung melesat Tie Suseng sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan lolos dari kematian Tiba-tiba ia teringat Na Hai Peng akan dibawa untuk menyerang gua Thian Kie, tempat tinggal Pek Yun Hui, Maka ia memaksa diri untuk ke seberapa lama kemudian, muncullah Pek Yun Hui dan Lie Ceng Loan, Ketika melihat mereka berdua, Gin Tie Suseng cuma mampu mengucapkan sepatah kata, sebab keburu sadar, Gin Tie Suseng sudah berada di dalam gua Thian Kie. Ketika melihat Pek Yun Hui, ia langsung berkata terputus-putus."Nona Pek,.,, Di antara orang-orang berbaju putih, ada... ada Na Locianpwee,"Setelah mendengar apa yang dikatakan Gin Tie Suseng, Pek Yun Hui manggut-manggut, karena dugaannya tidak salah, orang baju putih tinggi besar itu ternyata Na Hai Peng, Gin Tie Suseng menutur, semua orang saling memandang, Semula mereka mengira Gin Tie Suseng tahu jelas tentang Mo Kui Ceh Yi, namun ternyata juga tidak, Yang tahu Kuang Ti Taysu, namun justru telah ke lima puluh sembilan Gua Thian Kie Diserang Hening di dalam ruang batu itu, Semua orang cuma salingmemandang dengan kening berkerut-kerut. "Aaakh.,.!" Bee Kun Bu menghela nafas panjang, "Yang kucemaskan guru-guruku, entah bagaimana mereka sekarang?""Sebelum mati, Kuang Ti Taysu mengatakan bahwa bencana telah tiba di rimba persilatan mungkin ada alasannya," ujar Pek Yun Hui."Menurut pendapatku, itu belum tentu." sela Pang Siu Wie. "Kalau di Mo Kui Ceh Yi terdapat seorang Maha Iblis, bagaimana mungkin kaum Bu Lim sama sekali tidak mengetahuinya?""Banyak tokoh aneh berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan, begitu pula di luar perbatasan dan di seberang laut Misalnya Kim Hun Tokouw-Lam Kiong Siu, Miauw Muk Jin Mo-Ciu Lin, Ku Ciok Lo Koay dan lain sebagainya, Bukankah sebelumnya kita juga tidak pernah mendengar tentang mereka? sedangkan kini guruku sudah jadi begitu macam, Mau tidak mau kita harus pereaya." ujar Pek Yun Hui dan kemudian menarik nafas panjang."Apayang dikatakan Nona Pek memang benar." Gin Tie Suseng manggut-manggut "Hanya saja... aku merasa heran akan apa yang dikatakan guru di saat nafasnya hampir putus. ""Apa yang engkau herankan?" tanya Pek Yun Hui."Aku merasa heran karena orang-orang berbaju putih itu tidak memiliki kepandaian istimewa, sama sekali bukan tandingan Na Locianpwe Tapi kenapa Na Lo-cianpwee dapat ditundukkan oleh mereka?" jawab Gin Tie Suseng sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Guru-ku bilang, Maha iblis itu tidak bisa dilawan dengan tenaga manusia, itulah yang kuherankan, Entah apa maksud guruku itu?""Huh!" dengus Giok Siauw Sian Cu. "Omong kosong!Mana ada setan iblis?" "Itu... itu karena sungguh aneh urusan tersebut" Wajah Gin Tie Suseng kemerah-merahan. "Aku.,, aku cuma menduga, harap Kakak Giok Siauw jangan menertawakanku!""Eh?" Giok Siauw Sian Cu tampak cemberut "Berdasarkan apa aku harus menyalahkan mu?"Walau dalam keadaan tegang, namun tingkah laku Gin Tie Suseng dan Giok Siauw Sian Cu justru membuat semua orang tertawa, Setelah itu, mereka pun mulai berunding."Untuk sementara ini, tugas yang paling penting bagi kita adalah menyembuhkan ayah angkat dan lain nya. Menurutku, selain Siao Tiap, siapa yang punya kemampuan itu?" ujar Bee Kun Bu."Tidak salah, memang hanya Na Siao Tiap yang memiliki kemampuan itu," sahut Pek Yun Hui. Tapi kita tidak tahu dia pergi ke mana? Maka kita harus ke mana mencarinya?"Mendengar itu, semua orang membungkam dengan kening berkerut-kerut, Mereka semua memang tidak tahu jejak Na Siao Tiap, lalu harus ke mana mencari gadis itu?Malam harinya, mereka bergilir mengintip ke luar melalui lubang rahasia. Namun mereka tidak melihat apa-apa dan tidak terjadi apa paginya, kebetulan giliran Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan, Bee Kun Bu mengintip ke !uar, sedangkan Lie Ceng Loan bersandar di badannya."Kakak Bu, engkau melihat ada orang ke mari?" tanya gadis Bee Kun Bu menggelengkan kepala."Kakak Bu!" ujar Lie Ceng Loan lembut "Engkau pasti sudah lelah, lebih baik beristirahatlah sejenak!MTidak," Bee Kun Bu menggelengkan kepala lagi, "Adik Loan, aku sudah berpikir semalaman Kalau cuma berdiam diri di dalam gua, itu bukan jalan keluarnya. Lebih baik kita pergi untuk mencari tahu tentang Mo Kui Ceh Yi, sebetulnya itu merupakan tempat apa.""Memang ada baiknya begitu, tapi,.,." Lie Ceng Loan menarik nafas. "Kakak Pek tidak setuju."Bee Kun Bu menghela nafas, lalu mengintip ke luar mengintip ke luar, seketika juga ia terkejut bukan main."Adik Loan! Cepat beritahukan pada mereka, musuh sudah datangi Ternyata Bee Kun Bu melihat beberapa orang berbaju putih menuntun empat orang menuju gua Thian Lie Ceng Loan sudah berjalan ke dalam Tak lama ia sudah kembali bersama Pek Yun Hui, Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu waktu bersamaan, wajah Bee Kun Bu tampak berubah. Kini ia telah melihat jelas ke empat orang yang dituntun itu, tidak lain Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu. Bahkan mereka berempat menggotong sebuah batu besar yang menyerupai mereka tampak meringis, menyengir, menyeringai dan kadang-kadang tampak tersenyum keadaan itu, Bee Kun Bu berduka sekali sehingga nyaris tak kuat berdiri"Ada apa?" tanya Pek Yun Hui."Lihatlah sendiri!" sahut Bee Kun Bu sambil menarik Yun Hui dan lainnya langsung bergantian mengintip ke luar melalui lubang rahasia itu."Mereka sudah datang lagi dan mau mendobrak pintu gua menggunakan batu besar itu, Kita semua jangan gugup, Kalau pintu gua didobrak dan terbuka, kita harus bertindak sesuai dengan cara yang telah kita rundingkan semalam." ujar Pek Yun Hui tenang. "Engkau menghadapi ayah angkatku, aku menghadapi orang-orang berbaju putih itu?" tanya Bee Kun salah." Pek Yun Hui mengangguk "Kalau orang- orang berbaju putih itu kalah, guruku dan Kun Lun Sam Cu pasti mundur juga,""Aaakh!" Bee Kun Bu menarik nafas panjang. Bummm! Terdengarlah suara yang amat dahsyat,sehingga mengejutkan semua orang. Pintu gua itu ter- goncang Yun Hui segera mengintip ke luar, Ternyata Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu sedang mendobrak pintu gua dengan batu besar yang mereka gotong."Hati-hati!" seru Pek Yun Hui, "Dobrakan ke dua menyusul!"Bummm! Suara itu lebih dahsyat dari suara tadi, sehingga memekakkan telinga semua orang yang di dalam gua."Kakak Pek!" teriak Bee Kun Bu, "Apakah kita harus terus berdiam diri di dalam gua ini?""Kun Bu!" Pek Yun Hui mengerutkan kening, "Akan lebih berbahaya kalau kita menerjang ke luar!"Bummmm! Terdengar lagi suara yang amat dahsyat itu, bahkan menggoncangkan gua, sedangkan pintu batu gua itu tampak Pek Yun Hui berubah menyaksikan keadaan pintu itu, ia segera berseru sekeras kerasnya."Mari kita mundur ke dalam!"Mereka semua langsung mundur ke dalam, sekaligus menutup pintu batu ke dua, Tak seberapa lama kemudi an, mereka mendengar suara hiruk pikuk di Blang! Byurrr! Tidak perlu dilihat tagi, mereka semua sudah tahu kalau pintu gua itu telah hancur Tentunya mereka menjadi tegang dan berduka, karena orang-orang yang mendobrak pintu gua itu guru-guru mereka sendiriLagipula Pek Yun Hui, Bee Kun Bu dan lainnya, bagaimana mungkin melukai mereka? Kini mereka mulai panik, tidak tahu apa yang harus diperbuat Berselang beberapa saat kemudian, terdengarlah suara yang amat dahsyat lagi, Ternyata pintu batu ke dua sudah mulai didobrak."Kita harus mundur lagi!" seru Pek Yun Bee Kun Bu sangat menghormati Pek Yun Hui, tapi kali ini ia mulai memprotes."Mundur dan mundur lagi, lalu harus bagaimana?" "Kun Bu!" sahut Pek Yun Hui sungguh-sungguh,"Pertarungan tidak dapat dihindarkan lagi, maka ada baiknya kita punya waktu sedikit."Saat ini, sepasang mata Bee Kun Bu telah berapi-api, Kemudian mendadak ia menghantam dinding gua."Kakak Bu!" Lie Ceng Loan cepat-cepat memegang tangannya,"jangan terlampau berduka!"" keluh Bee Kun mereka semua mundur lagi ke ruang da! batu ke tiga pun langsung ditutup, pada waktu bersamaan, pintu batu ke dua telah hancur"Giok Siauw Sian Cu, engkau harus menggendong Saudara Kim!" pesan Pek Yun Hui, "Begitu pintu hancur, engkau harus segera kabur menggendong Saudara Kim! Kita berkumpul lagi nanti!""Ya!" Giok Siauw Sian Cu segera berjalan ke dalam. "Kakak Pang!" pesan Pek Yun Hui lagi, "Engkau harus bersiap-siap dengan pasir beracun! Begitu melihat orang berbaju putih, jangan memberi hati pada mereka!""Ya." Pang Siu Wie segera memakai sarung tangan. sementara pintu batu ke tiga sudah mulai didobrak,sehingga membuat ruang dalam terus Yun Hui menghunus pedangnya, Begitu pula Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan, Kini mereka sudah bersiap-siap dengan pedang di tangan."Adik Loan!" ujar Pek Yun Hui. "Di saat menghadapi Kun Lun Sam Cu, engkau tidak boleh menghadapi dengan perasaan!""Kakak Pek, aku... aku. " Wajah Lie Ceng Loan berubahpucat"Adik Loan!" Pek Yun Hui menarik nafas, "Kini Kun Lun Sam Cu bertindak atas perintah orang, sudah pasti tubuh mereka kena semacam racun, sehingga tidak me-ngenalimu lagi, Kalau engkau menghadapi mereka bertiga dengan perasaan, bukankah akhirnya dirimu yang akan celaka? Nah, pikirkanlah"Baik." Lie Ceng Loan mengangguk "Aku akan menghadapi guru dan Supek sebagaimana mestinya, Ka-kak Bu menghadapi orang-orang berbaju putih saja!""Kakak Pek!" sela Bee Kun Bu mendadak "Biar aku yang menghadapi ayah angkat, engkau menghadapi orang-orang berbaju putih saja.""Baiklah." Pek Yun Hui mengangguk "Tapi engkau harus berhati-hati!""Ya." Bee Kun Bu manggut-manggutPek Yun Hui mengibaskan tangannya, Mereka segera mundur ke tempat yang kosong, Giok Siauw Sian Cu sudah muncul, ternyata ia mengikat Gin Tie Suseng di punggungnya. Saat ini, terdengarlah suara hirup pikule Ternyata pintu batu ke tiga telah hancur, Pek Yun Hui langsung bersiul panjang, dan secepat kilat melesat ke samping Kun Lun Sam Cu. sedangkan Giok Siauw Sian Cu juga menerjang ke luar bersama Pang Siu itu juga, tampak empat orang berbaju putih sedang menerjang ke dalam, Begitu melihat Pek Yun Hui, ke empat orang berbaju putih itu terkejut dan segera bersiul Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu berdiri mematung di tempat dan masih menggotong batu besarKetika mendengar suara siulan aneh itu, mereka berempat serentak menaruh batu besar itu, lalu menerjang ke arah Pek Yun tetapi, Na Hai Peng telah dihadang oleh Bee Kun Bu dengan pedang, sedangkan Lie Ceng Loan bergerak cepat ke hadapan Kun Lun Sam Pek Yun Hui sudah menerjang ke luar dengan pedang di tangan, Dia menggunakan ilmu pedang tingkat tertinggi yakni badan menyatu dengan terdengarlah suara jeritan, Ternyata ke empat orang berbaju putih telah tewas di pedang Pek Yun Hui, sedangkan Pek Yun Hui telah melesat sampai di luar Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie terus mengikuti Pek Yun Hui dari belakang Di luar gua masih ada delapan orang berbaju putih, maka begitu sampai di luar gua, Pang Siu Wie langsung mengayunkan tangannya, Ternyata ia telah menyebarkan pasir beracun ke arah orang-orang baju putih itu. Mereka secepat kilat meloncat mundur, namun dua orang berbaju putih terlambat dan seketika mereka berdua menjerit- jertt kena pasir beracun itu."Engkau tunggu kami di lembah Cu Ngu!" pesan Pek Yun Hui pada Giok Siauw Sian Cu. "Kalau sudah malam kami tidak ke sana, berarti kami sudah celaka." Giok Siauw Sian Cu mengangguk, lalu melesat pergi menuju lembah Pek Yun Hui sudah mulai menyerang orang- orang berbaju putih dengan pedangnya, Pang Siu Wie pun tak henti-hentinya menyebarkan pasir beracunnya ke arah orang- orang baju sampai tiga jurus, seorang berbaju putih sudah terluka parah, Sisanya, yang lima orang segera bersiul Yun Hui sudah tahu, bahwa siulan aneh itu merupakan suatu perintah pada Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu. Maka kalau sisa ke lima orang itu dibunuh semua, Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu pasti cuma berdiri itu, Pek Yun Hui langsung menyerang mereka. Namun mendadak terdengar suara teriakan Bee Kun Bu."Hati-hati Kakak Pek!"Pek Yun Hui terkejut dan cepat-cepat menoleh. ia melihat badan Bee Kun Bu melayang ke luar bagaikan layang-layang putus, Tampak Na Hai Peng melesat ke arahnya, bahkan telah melancarkan pukulan ke dahsyatnya pukulan itu, sehingga membuat Pek Yun Hui terkejut bukan main, Bahkan ia tertegun karena saking kaget saat yang begitu gawat, Pek Yun Hui malah tertegun, tentunya ada sebab musababnya, Ternyata pukulan itu membuatnya harus menangkis, sedangkan apabila ia menangkis, Na Hai Peng pasti terluka dan dirinya sendiri pun akan celaka, Sejak ia meninggalkan istana di ibu kota, ia hidup bersama Na Hai Peng, dan boleh dikatakan Na Hai Penglah pengganti orang tuanya, Maka bagaimana mungkin ia tega membuat Na Hai Peng terluka?Di saat Pek Yun Hui tertegun, pukulan itu justru telah mulai menekan dirinya. Pang Siu Wie yang berdiri tak jauh, keringat dingin pun sudah mengucur, tanpa banyak pikir lagi ia langsung menyerang Na Hai Peng dengan sebatang panah Bummm! Terdengar suara menyerang Na Hai Peng dengan panah api, Pang Siu Wie justru menjadi lengah terhadap ke lima orang berbaju putih, Salah seorang dari mereka menyerang Punggung Pang Siu Wie terpukulsedangkan Na Hai Peng berhasil memukul jatuh panah api itu, sehingga menimbulkan ledakan sahsyat, pada waktu bersamaan, Pek Yun Hui segera mengerahkan ilmu Ngo Heng Mie Cong Hai Peng sudah mengenali ilmu itu, maka ia segera mengejar Pek Yun Hui dengan ilmu yang Pek Yun Hui sehingga terpaksa menggunakan pedangnya menyabet lengan baju Na Hai Peng. Akan tetapi, terjadilah hal yang di luar dugaan, Ternyata lengan baju Na Hai Peng malah melilit pedang Pek Yun Hui sehingga tak bergerak sama sekaliPek Yun Hui mengerahkan Lweekangnya untuk menarik pedangnya. ia berhasil tapi di saat bersamaan, sebelah tangan Na Hai Peng telah bergerak melancarkan sebuah pukulan ke tiada kesempatan bagi Pek Yun Hui untuk berkelit, sehingga pukulan Na Hai Peng mengenai bahu-nya, Meskipun Pek Yun Hui memiliki ilmu sakti Toa Pan Yok Sin Kang, namun ilmunya itu masih di bawah Na Hai itu, setelah kena pukulan tersebut, hawa murni Pek Yun Hui buyar Badannya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat pias. sedangkan Na Hai Peng sudah melesat ke arahnya. Pek Yun Hui yang terhuyung-huyung, akhirnya jatuh duduk di tanah, Di saat itu pula terdengar suara seruan Bee Kun Bu."Ayah angkat! jangan turun tangan!" Bee Kun Bu juga melesat ke situ dengan menghadapi Na Hai Peng di dalam gua, Bee Kun Bu sudah berada di bawah angin, maka ia bertarung sambil mundur Begitu sampai di luar gua, terdengar suara siulan aneh dari ke lima orang berbaju putih, karena itu Na Hai Peng langsung melesat ke arah Pek Yun sampai dua jurus, Pek Yun Hui sudah terluka, Kebetulan Bee Kun Bu mengarah ke sana, Begitu melihat Pek Yun Hui dalam bahaya, Bee Kun Bu segera berseru dan sekaligus melesat ke sana dengan Hai Peng berkelit, kemudian mendadak menjulurkan tangannya mencengkeram lengan Bee Kun serangan Na Hai Peng luput, Bee Kun Bu langsung meloncat pergi untuk memancing Na Hai ini, di luar gua Thian Kie tampak sinar pedang berkelebatan, namun keadaan sudah tidak menguntungkan bagi pihak Pek Yun Hui lagisedangkan Bee Kun Bu yang menghadapi Na Hai Peng dengan cara main kucing-kucingan, sewaktu-waktu akan terluka di tangan Na Hai Ceng Loan juga sibuk menghadapi Kun Lun Sam Cu. Namun gadis itu merasa tidak tega melukai mereka, maka ia cuma bertahanPek Yun Hui yang jatuh duduk itu berusaha bangun, maksudnya ingin membantu Bee Kun Bu, namun tenaganya sama sekali tak kuat untuk Siu Wie pun sudah terluka parah kena pukulan, ia jatuh duduk di tanah, dan ke lima orang berbaju putih langsung mengurungnya, Pang Siu Wie masih sempat menyerang mereka dengan panah api Dua orang berbaju putih kena panah api, sehingga sekujur badannya Yun Hui terus memandang mereka yang sedang bertempur kemudian ia berseru."Kun Bu, adik Loan! Katian berdua lebih baik meloloskan diri saja!""Kakak Pek! jangan berkata begitu!" sahut Bee Kun Bu. Karena menyahut, maka gerakannya jadi lamban,Mendadak ia merasa pedangnya berat sekali, ternyata pedangnya telah dicengkeram Na Hai Kun Bu terpaksa melepaskan pedangnya, dan secepat kilat meloncat mundur Akan tetapi, di saat bersamaan Na Hai Peng menyerangnya dengan pedang itu. Bee Kun Bu berusaha berkelit, namun jurus pedang itu telah berubah, sehingga membuat Bee Kun Bu tak bisa pahanya telah tertusuk pedang itu, dan darahnya pun mengucur Kun Bu tetap bertahan walau merasa sakit sekali, sedangkan Na Hai Peng sudah menyerangnya lagi Bee Kun Bu tampak putus asa. ia tahu sudah tidak mampu berkelit lagi, Apakah ia akan mati di tangan ayah angkatnya sendiri?Pada waktu bersamaan, mendadak tampak sosok bayangan melesat ke arah nya, disusul pula dengan bentakan keras."Na tua! Ada apa bicarakanlah baik-baik! Kenapa harus turun tangan terhadap tingkatan muda?"Bee Kun Bu mengenali suara itu, tapi tidak ingat siapa orangnya sementara bayangan itu telah melesat sampai di hadapan Na Hai Peng yang sedang menyerang dengan pedang, Begitu mendengar ada suara desiran angin, Na Hai Peng menarik pedangnya dan sekaligus menyerang orang yang baru muncul itu. Kelihatannya orang itu tidak menyangka kalau Na Hai Peng akan menyerangnya, Maka ia jadi tertegun sehingga lupa berkelit Ujung pedang Na Hai Peng berhasil melukainya hingga darah mengucur, barulah orang itu meloncat ke Hai Peng juga tampak melongo, kemudian membalikkan badannya, Bee Kun Bu sudah melihat orang itu, Ternyata orang itu berambut panjang sekali, yang tidak lain Kiu Tok Sian Ong-Bun Thian Kiu Tok Sian Ong telah tertusuk pedang Na Hai Peng, namun hanya terluka ringan."Sian Ong!" Giranglah Bee Kun Bu, "Cepat habiskan ke tiga orang berbaju putih itu!"Kiu Tok Sian Ong memandang ke arah tiga orang berbaju putih, Kebetulan ke tiga orang berbaju putih itu pun sedang memandangnya, Begitu mereka saling me-mandang, Kiu Tok Sian Ong tampak terkejut menyaksikan wajah Kiu Tok Sian Ong yang tampak terkejut itu, Bee Kun Bu dan Pek Yun Hui merasa dingin dalam hati, Di saat itu, bahu Bee Kun Bu pun tertusuk oleh pedang Na Hai Peng lagi."Sian Ong! Cepat habiskan ke tiga orang itu dulu!" seru Pek Yun Tok Sian Ong langsung bersiul panjang sambil melesat ke arah ke tiga orang berbaju putih itu, Ke tiga orang berbaju putih pun sudah siap menyerang, Namun sepasang tangan Kiu Tok Sian Ong telah bergerak dan berhasil mencengkeram lengan dua orang berbaju putih, sekaligus Krek! Ke dua orang itu terhempas remuk, nyawa mereka pun melayang hanya tersisa satu orang berbaju putih, Orang berbaju putih itu langsung bersiul aneh sambil melesat pergi, Akan tetapi, Kiu Tok Sian Ong bergerak cepat mencengkeramnya, Ternyata Kiu Tok Sian Ong tidak mencengkeram lengannya, melainkan mencengkeram bahunya, Kuku-kukunya yang panjang menembus ke dalam bahu orang berbaju putih itu."Kalau ingin hidup, cepat suruh mereka berhenti!" bentak Kiu Tok Sian berbaju putih itu ketakutan. Maka ia segera mengeluarkan sebuah peluit kecil yang dibikin dari semacam tulang, lalu ditiup tiga mendengar suara peluit itu, Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu langsung berhenti, kemudian berdiri mematung di tempatLie Ceng Loan menarik nafas lega, Namun begitu melihat Bee Kun Bu terluka, gadis itu segera mendekatinya dengan air mata berlinang-linang."Sudah aman sekarang," ujar Pek Yun Ceng Loan membalut luka Bee Kun Bu dengan hati- hati sekali, namun air matanya masih terus mengucur"Jangan menangisi ujar Bee Kun Bu sambil tersenyum "Kakak Bu. " Lie Ceng Loan terisak-isak."Adik Loan!" Bee Kun Bu tersenyum lagi, "Aku tidak apa- apa.""Sian Ong!" tanya Pek Yun Hui. "Apakah Sian Ong tahu asal-usul orang-orang berbaju putih itu?""Aaakh. !" Kiu Tok Sian Ong menarik nafas dengan airmuka berubah, "lni sungguh menakutkan Kita tidak boleh lama-lama di sini, harus cepat meninggalkan tempat ini.""Sian Ong, bagaimana kalau kita ke lembah Cu Ngu?" tanya Pek Yun Hui."Biar tempat apa pun itu, yang penting kita harus segera meninggalkan tempat ini dulu," sahut Kiu Tok Sian Ong. Pek Yun Hui dan Pang Siu Wie berusaha bangun, sedangkan Kiu Tok Sian Ong berkata pada Bee Kun jalan darah ke empat orang itu, dan bawalah pergi!"Bee Kun Bu mengangguk, lalu berjalan terpincang-pincang mendekati dan kemudian menotok jalan darah mereka, Akan tetapi, ketika ia menotok Na Hai Peng, justru dirinya yang terpental Bamlah ia ingat, Na Hai Peng mempunyai ilmu Toa Pan Yok Sin Kang, pelindung diri."Bagaimana nih?" Bee Kun Bu kebingungan"Oh! Aku telah melupakan itu," sahut Kiu Tok Sian Ong, lalu berkata pada orang berbaju putih yang masih dalam cengkeramannya, "Engkau harus perintahkan dia mengikuti kami! Kalau engkau berani macam-macam, engkau yang mampus duluan!"Orang baju putih itu mengangguk, sedangkan Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan telah memapah Kun Lun Sam Cu, Pek Yun Hui dan Pang Siu Wie menguatkan diri untuk berjalan Kiu Tok Sian Ong tetap mencengkeram orang berbaju putih itu yang terus bersiul aneh, Maka Na Hai Peng mengikuti mereka dari seberapa lama kemudian, mereka sudah tiba di lembah Cu Ngu. Begitu melihat mereka, legalah hati Giok Siauw Sian Cu."Sudah tidak ada urusan apa-apa iagi?" tanyanya. "Kalau Kiu Tok Sian Ong tidak muncul pada waktu itu,kami semua pasti sudah mati," jawab Pek Yun Hui."Setelah meninggalkan pegunungan Altai Taysan, tiba-tiba aku teringat pada Nona Lie yang telah dewasa. Karena itu aku memasuki Tionggoan lagi Kebetulan melewati daerah ini, maka aku mampir ke gunung Kwat Cong San. Tidak disangka malah bertemu kalian dalam keadaan tidak karuan," ujar Kiu Tok Sian Ong. "Sian Ong!" Pek Yun Hui duduk di atas rumput "Apakah Sian Ong tahu asal-usul orang-orang berbaju putih itu?""Kalau dibicarakan aku pun tidak begitu jelas," jawab Kiu Tok Sian Ong dan me!anjutkan. "Ketika aku baru berguru belajar ilmu silat, aku pernah mendengar guru bereakap-cakap dengan beberapa tokoh tua rimba persilatan kalau bertemu dengan orang berbaju putih berdandan seperti ini di gurun pasir Sie Ih, lebih baik cepat-cepat menghindar Kalau tidak, diri kita akan menuruti perintah merekah"Mereka berempat memang sudah begitu." Pek Yun Hui memberitahukan"Dalam hidupku, aku memang sering mengarungi gurun pasir Sie Ih, namun tidak pernah bertemu orang berbaju putih yang demikian, Baru hari ini aku melihat mereka, Aku masih ingat akan pereakapan guruku dengan para tokoh tua rimba persilatan bahwa orang-orang berbaju putih bertempat tinggal di Mo Kui Ceh Yi.""Betul." sahut Bee Kun Bu dan Pek Yun Hui serentak "Di dalam Mo Kui Ceh Yi, terdapat tiga pemimpin yakniToa Mo Maha Iblis, Ji Mo lblis Ke dua dan Sam Mo lblis Ketiga, Siapa ke tiga orang itu, tiada yang tahu,""Sian Ong!" Pang Siu Wie menunjuk orang berbaju putih yang dicengkeram Kiu Tok Sian 0ng. Tanya dia bukankah kita akan mengetahuinya?""Benar." Kiu Tok Sian Ong manggut-manggut, kemudian membuka kedok orang berbaju Yun Hui dan lainnya segera memandang wajah orang itu. seketika juga mereka semua merinding, bahkan Lie Ceng Loan langsung menjerit sambil mendekap di dada Bee Kun di balik kedok yang menyeramkan itu, terdapat seraut wajah yang lebih menyeramkan, dagingnya tiada sedap dipandang, tiada hidung, mata cuma sebelah dan bibir atas pun hilang entah ke mana. Bahkan wajah yang menyeramkan itu masih tampak ada darah segar mengalirSetelah menyaksikan wajah itu, Kiu Tok Sian Ong pun tertegun, ia segera memakaikan kembali kedok itu pada wajah orang tersebut"Engkau datang dari Mo Kui Ceh Yi?""Kalian sudah tahu, maka harus cepat-cepat melepaskan diriku!" sahut orang berbaju putih."Hm!" dengus Kiu Tok Sian Ong dingin, "Engkau tidak perlu banyak bicara! Aku tanya engkau jawab!""Hm!" Orang berbaju putih itu pun mendengus. "Bagaimana cara menyembuhkan ke empat orang ini?"tanya Kiu Tok Sian Ong membentak "Jawab!" "Aku tidak tahu!" sahut orang berbaju putih."Benarkah engkau tidak tahu?" Kiu Tok Sian Ong mengerutkan kening."Benar!" Orang berbaju putih mengangguk"Kalau begitu, siapa yang tahu caranya menyembuhkan mereka berempat?" tanya Kiu Tok Sian Ong lagi."Toa Mo Maha Iblis Ji Mo lblis ke Dua dan Sam Mo lblis ke Tiga!" jawan orang berbaju putih. "Mereka bertiga yang mampu membuat orang tidak waras, dan bergerak berdasarkan suara siulan!"jawaban itu membuat semua orang saling memandang. "Siapa ke tiga orang itu?" tanya Kiu Tok Sian Ong."Aku tidak pernah bertemu mereka, Di dalam Mo Kui Ceh Yi, orang yang bisa bertemu mereka dapat dihitung dengan jari!" "Sebetulnya mereka berempat kena racun apa, sehingga berubah jadi begitu?" tanya Pek Yun Hui mendadak"Akusungguh tidak tahu!" jawab orang berbaju putih."Di mana Mo Kui Ceh Yi itu?" tanya Bee Kun Bu berang. "Aku tidak boleh bilang!" sahut orang berbaju putih Giok Siauw Sian Cu mencengkeram urat nadi orang berbaju putih itu, lalu mengerahkan Lwee-kangnya, sehingga orang berbaju putih itu merintih-rintih."Engkau mau bilang apa tidak?" bentaknya sengit. "Kalian bermusuhan dengan kami!" pekik orang berbajuputih itu. "Kalian semua pasti mampus!"Setelah memekik, mendadak jari tengahnya menyentil dan sebutir obat kecil langsung meluncur ke dalam Siauw Sian Cu bergerak cepat menekan teng- gorokannya, agar obat itu jangan masuk ke tenggorokan, namun sudah terlambatGlek! Kepala orang berbaju putih itu terkulai, dan nafasnya pun putus orang menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Kiu Tok Sian Ong segera berendus-endus di pakaian orang itu, kemudian tertawa."Ha ha!""Kenapa Sian Ong tertawa?" tanya Pek Yun Hui heran. "Akal ini memang mungkin dapat mengelabui aku?" sahutKiu Tok Sian Ong."Sian Ong!" tanya Giok Siauw Sian Cu. "Apakahyang ditelannya itu bukan racun?""Memang racun." Kiu Tok Sian Ong mengangguk "Tapi racun itu tidak akan mematikannya." Giok Siauw Sian Cu segera meraba hidung orang berbaju putih itu."Dia sudah tidak bernafas, pertanda dia telah mati!" ujarnya dengan kening berkerut"Engkau telah dikelabuinya." Kiu Tok Sian Ong tersenyum, "Bagaimana mungkin mereka akan membunuh diri? Memang, siapa yang menelan racun itu dalam waktu dua jam akan tampak seperti orang mati, Maka kalau tidak dikuburkan, dua jam kemudian dia akan kabur."Kini mereka semua baru mengerti, dan seketika mereka pun bertambah gusar"Apa yang dikatakannya tadi, kedengarannya tidak bohong," ujar Kiu Tok Sian Ong setelah berpikir beberapa saat, "Namun mereka telah terikat oleh suatu peraturan, jadi pereuma kita mendesaknya, Lebih baik kita bunuh saja dia!"Usai berkata begitu, Kiu Tok Sian Ong mengangkat tangannya dan terdengarlah suara "Plak".Pek Yun Hui ingin membuka mulut mencegahnya, tapi sudah terlambat Tadi orang berbaju putih berpura-pura mati dengan maksud ingin kabur, tetapi kini malah benar-benar mati."Sian Ong!" ujar Bee Kun Bu. "Nyawanya telah Sian Ong habiskan, mungkin kita semua tidak akan tahu di mana Mo Kui Ceh Yi itu.""Eh? Bocahl" Air muka Kiu Tok Sian Ong berubah. "Maksudmu ingin mencari tempat itu?""Tentu." sahut Bee Kun Bu mengangguk"Dasar bocah tak tahu tingginya langit! Sudahlah! jangan omong kosong !agi!" tegur Kiu Tok Sian Ong."Sian Ong!" sambung Pek Yun Hui. "Kalau kami tidak pergi mencari tiga iblis itu, bagaimana guruku dan Kun Lun Sam Cu? Apakah harus membiarkan mereka tetap tidak waras begitu?""Nona Pek!" Wajah Kiu Tok Sian Ong tampak serius, "Soal kepandaian, aku memang di bawahmu! Tapi usiaku lebih tua puluhan tahun darimu! Engkau mau dengar atau tidak adalah urusanmu, namun aku harus bicara!""Silakan bicara, Sian Ong!" ujar Pek Yun Tok Sian Ong memandang Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu, kemudian menunjuk mereka berempat seraya berkata."Ke empat orang itu menjadi tidak waras karena perbuatan tiga iblis dari Mo Kui Ceh Yi. Kalian boleh menjaga mereka agar tidak ditemukan orang berbaju putih, berarti tidak akan terjadi apa-apa. Kalau kalian ingin pergi mencari Mo Kui Ceh Yi, itu sama juga kalian mencari mati."Walau Kiu Tok Sian Ong telah mengatakan begitu, tapi wajah Pek Yun Hui, Bee Kun Bu dan lainnya tampak biasa- biasa Tok Sian Ong menatap mereka satu persatu dengan kening berkerut seraya bertanya."Kalian tidak mau dengar?""Apa yang dikatakan Sian Ong memang benar dan masuk akal," jawab Bee Kun Bu. "Akan tetapi kami sebagai murid, bagaimana mungkin terus menyaksikan guru begitu selamanya?""Hm!" dengus Kiu Tok Sian Ong, "Kalian tidak tega menyaksikan keadaan mereka begitu, maka bertekad pergi mencari Mo Kui Ceh Yi, apakah itu akan mem-bantu? Setelah kalian seperti ke empat orang itu, barulah kalian tahu rasa!"Bee Kun Bu dan lainnya diam. sedangkan Kiu Tok Sian Ong mendekati Lie Ceng Loan. "Nona Li, aku boleh tidak peduli orang lain. Namun aku telah berhutang budi pada almarhum, maka engkau sama sekali tidak boleh mencari kerepotan itu!" ujar Kiu Tok Sian Ong sungguh-sungguh."Sian Ong!" Lie Ceng Loan memandangnya. "Aku tahu Sian Ong bermaksud baik pada kami semua, tapi Kakak Bu memutuskan bagaimana, aku pasti menurutinyaKiu Tok Sian Ong membalikkan badannya memandang pada Bee Kun Bu."Mungkin engkau mau mendengar nasihatku?""Harap Sian Ong sudi memaafkan, aku sungguh tidak bisa menuruti nasihat Sian Ong," sahut Bee Kun Bu."Baik, baik!" Akhirnya Kiu Tok Sian Ong menghela nafas. "Semuanya menganggap dirinya gagah berani, namun justru amat bodoh sekali!"Setelah berkata demikian, Kiu Tok Sian Ong melesat pergi, latapi Pek Yun Hui cepat-cepat memanggilnya."Sian Ong tunggu!"Kiu Tok Sian Ong terus melesat pergi, seakan tidak mendengar seruan Pek Yun Hui. Tak lama kemudian, ia sudah hilang dari pandangan"Kenapa Nona memanggilnya ?" tanya Pang Siu Wie heran."Dia menasihati kita, tentunya bermaksud baik," jawab Pek Yun Hui sambil menarik nafas. "Mungkin Mo Kui Ceh Yi memang merupakan suatu tempat yang amat bahaya, tapi bagaimana mungkin kita tidak ke sana?""Benar, Kakak Pek" Bee Kun Bu mengangguk "Kalau pun Mo Kui Ceh Yi merupakan suatu tempat yang amat bahaya, kita pun harus ke sana, Seperti halnya dengan istana Pit Sia Kiong, bukankah sangat lihay sekali? Toh kita semua tidak merasa takut kan?""Tapi itu tidak bisa disamakan dengan istana Pit Sia Kiong," ujar Pek Yun Hui."Oh?" Lie Ceng Loan terbelalak "Kakak Pek, apakah Mo Kui Ceh Yi jauh lebih lihay dari istana Pit Sia Kiong?""Saat ini aku masih tidak berani memastikannya," sahut Pek Yun Hui sambil tersenyum getir, "Guru yang menolong kita semua di istana Pit Sia Kiong, kini malah jadi begitu. "Apa yang dikatakan Pek Yun Hui memang benar, perasaan semua orang jadi tereekam, terutama Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan."OIeh karena itu. M lanjut Pek Yun Hui tampak telahmengambil keputusan "Biar bagaimanapun, kita harus pergi menyelidiki Mo Kui Ceh Yi! Adik Loan, engkau mau ikut?""Bagaimana Kakak Bu?" Lie Ceng Loan balik ber-tanya. "Dia pasti pergi," sahut Pek Yun Hui."Kalau dia pergi aku pasti ikut," ujar Lie Ceng Loan dan menambahkan "Pokoknya aku tidak mau berpisah dengan Kakak Bu lagi.""Adik Loan!" Pek Yun Hui menggenggam tangan-nya. "Kiia tidak bisa membawa guru, jadi guru harus ditinggalkan di sini. Kalau tiada seorang pun yang menjaga mereka, bukankah akan menimbulkan masalah lagi?""Kakak Pek!" Mata Lie Ceng Loan mulai basah, "Pokoknya aku harus ikut Kakak Bu."Ketika Pek Yun Hui ingin mengatakan sesuatu, Pang Siu Wie sudah mendahului membuka mulut"Nona Pek! Biar dia tkut, aku akan menjaga di sini." "Benar," sambung Giok Siauw Sian Cu. "Aku pun berada disini menjaga mereka, Jadi aku dan Pang Siu Wie tidak ikut," "ltu merupakan tanggung jawab yang amat besar Kalian berdua jangan main-main!" tegas Pek Yun Hui."Asal kami berdua masih bernafas, tidak akan membiarkan Na Locianpwee dan Kun Lun Sam Cu terjadi sesuatu," sahut Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu serentak"Kalau begitu. " Pek Yun Hui berpikir sejenak lalumelanjutkan "Kita pun tidak boleh lama-lama di sini, juga tidak boleh kembali ke gua Thian Kie. Tak jauh dari sini, terdapat sebuah gua yang amat rahasia, Kalian boleh tinggal di dalam gua itu, tapi tidak boleh ke mana-mana.""Ya." Pang Siu Wie dan Giok Siauw Sian Cu mengangguk "Setelah lukanya sembuh, Saudara Kim pasti membantukalian," ujar Pek Yun Hui dan menambahkan "Kalau sudah lama sekali kami tidak putang, kalian harus berusaha mencari Na Siao Tiap!"Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie mengangguk "Kalian berdua harus hati-hati!" pesan Pek Yun Hui."Sebab itu merupakan tanggung jawab kalian.""Kami tahu," sahut Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie serentak"Kakak Pek!" ujar Bee Kun Bu. "Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!""Baik." Pek Yun Hui bertiga lalu meninggalkan lembah itu, sedangkan Giok Siauw Sian Cu dan Pang Siu Wie membawa Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu ke gua rahasia yang ditunjuk Pek Yun Pek Yun Hui, Bee Kun Bu dan Li Ceng Loan sudah meninggalkan lembah Cu Ngu itu, Beberapa mil kemudian, Pek Yun Hui berkata."Kita masih harus ke gua Thian Kie dulu." "Kenapa?" tanya Li Ceng Loan heran."Orang-orang berbaju putih yang datang dari Mo Kui Ceh Yi semuanya mengenakan pakaian putih, juga memakai kedok kulit manusia, kan?" Pek Yun Hui tersenyum serius."Benar, Jadi kenapa?" Li Ceng Loan bertambah heran, Gadis itu sama sekali tidak mengerti akan maksud Pek Yun Hui."Kini kita akan menempuh bahaya pergi menyelidiki Mo Kui Ceh Yi, kalau dengan pakaian kita yang begini, sulit membaurkan diri." Pek Yun Hui menjelaskan "Me-ngerti, Adik Loan?""Oooh!" Li Ceng Loan manggut-manggut mengerti "Tidak salah," ujar Bee Kun Bu. "Kita harus menyalinpakaian mereka agar gampang membaurkan diri di sana."Mereka bertiga menuju gua Thian Kie, Tampak mayat- mayat orang berbaju putih terbujur di depan gua tersebut Mereka bertiga memilih orang berbaju putih yang berukuran sama dengan badan masing-masing, kemudian menyalin pakaian mereka dan sekaligus memakai kedok kulit manusia memakai kedok tersebut, mereka bertiga saling memandang dan sama-sama mengeluarkan suara "lh", karena wajah mereka telah berubah menyeramkan sekaliMereka bertiga meninggalkan tempat itu, namun mendadak Lie Ceng Loan berhenti sambil berseru."Eh? Benda apa yang bergantung di pinggang me-reka?" U Ceng Loan menunjuk ke arah benda yang bergantung di pinggang mayat orang berbaju setelah pakaian putihnya ditanggalkan, pada pinggang mayat-mayat itu tampak bergantung sebuah benda berbentuk segitiga menyerupai semacam medaH emas. Hati Pek Yun Hui tergerak ia segera mendekati dan mengambil benda itu, Di permukaan medali tersebut terdapat tulisan berbunyi "Mo Kui Ceh Yi" Di baliknya juga terdapat tu!isan, "Delapan puluh Tujuh"."Ka!ian berdua juga harus memakai medali itu," ujar Pek Yun Kun Bu dan Li Ceng Loan menurut Mereka mengambil medali dari mayat lain, lalu dipakainya di pinggang Pada medali itu juga terdapat tulisan yang sama, hanya saja nomornya Yun Hui memakai medali nomor delapan puluh tujuh, medali U Ceng Loan bernomor sembilan puluh satu, dan Bee Kun Bu memakai medali bernomor dua puluh empat"Medali ini merupakan tanda mereka, maka tidak boleh hilang." pesan Pek Yun Hui."Ya," sahut Bee Kun dan Li Ceng Loan serentak Kemudian Bee Kun Bu menambahkan, "Pihak Mo Kui Ceh Yi pasti tidak akan menyudahi urusan ini, sebab sudah banyak orangnya mati di sini Kalau mereka menemukan mayat di sini, bukankah akan tahu ada tiga orang menyamar sebagai orang-orang baju putih Mo Kui Ceh Yi?""Kita harus membuang mayat-mayat itu ke dalam jurang," ujar Pek Yun membuang mayat-mayat itu ke dalam jurang, mereka bertiga lalu meninggalkan gunung Kwat Cong San..Pek Yun Hui, Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan terus melakukan perjalanan, sepanjang siang dan malam mereka terus berjalan, dan hanya beristirahat sejenak di malam harinya, Mereka memburu waktu karena mencemaskan keadaan Na Hai Peng dan Kun Lun Sam Cu yang masih dikendalikan bulan kemudian mereka sudah mendekat Giok Bun Kwan. Hati mereka menjadi tegang karena masih belum mengetahui di mana Mo Kui Ceh Yi, dan belum mengetahui juga siapa sebenarnya ke tiga iblis Hai Peng yang berkepandaian begitu tinggi, masih dibuat tidak waras dan mereka kendalikan Kiu Tok Sian Ong juga menasihati mereka, agar tidak pergi menyelidiki Mo Kui Ceh Yi. itu pertanda tempat tersebut amat berbahaya sekali. Oleh karena itu, mereka bertiga boleh dikatakan sedang pergi mengadu nyawa, Namun apa boleh buat, mengingat keadaan guru mereka yang begitu memprihatinkan, meskipun berbahaya sekali, mereka tetap harus menempuhnya!Malam ini ketika bulan bersinar remang-remang, mereka bertiga meninggalkan Giok Bun Kwan untuk melanjutkan perjalananSetelah larut malam, sampailah mereka di gurun pasir yang tampak kekuning-kuningan karena tertimpa sinar bulan. Gurun pasir itu tampak begitu tenang, sama sekali tiada suara apa mengerahkan ginkang melesat di atas gurun pasir tersebut Mereka tahu bahwa dibalik ketenangan itu, justru ada bahaya besar mengancam diri mereka mana Mo Kui Ceh Yi itu, mereka sama sekali tidak mengetahuinya, hanya tahu kira-kira berada di sekitar gurun pasir karena itu, mereka bertiga mengarungi gurun pasir itu untuk mencari Mo Kui Ceh Yi tersebut Ketika hari mulai terang, mereka mendengar suara dering-dering di tempat yang jauh, Tak seberapa lama kemudian, muncullah iring- iringan Yun Hui, Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan segera memandang iring-iringan unta, dan seketika itu juga Bee Kun Bu berseru tak tertahanTernyata di dalam iring-iringan unta tidak tampak seorang pun, tapi banyak barang berada di atas punggung unta-unta itu. Bee Kun Bu teringat akan iring-iringan kereta kuda kaum pedagang, yang dikepalai seorang tua berjenggot Para pedagang itu semua mati terbunuh Kini muncul iring-iringan unta, namun tiada orangnya, Apakah orang-orangnya juga telah celaka?Mereka bertiga segera mengerahkan ginkang mendekati unta-unta itu, Begitu melihat mereka, unta-unta itu pun berhenti Unta-unta itu berjumlah delapan puluh ekor, tapi diantara mereka tidak tampak seorang bertiga saling memandang dengan kening berkerut-kerut, kemudian Pek Yun Hui berkata."Hati-hati! Jangan-jangan para penjahat berada di sekitar tempat ini!"Bee Kun Bu dan Lie Ceng Loan mengangguk Mereka bertiga memandang ke arah kafilah itu muncul dan kemudian melesat ke sana, Di sana mereka menyaksikan pemandangan yang amat mengenaskan, yaitu puluhan mayat bergelimpangan di atas gurun pasir yang tampak tenang yang sudah mati itu berpakaian ala Bangsa Han dan Bangsa mereka mendidih menyaksikan keadaan itu, Wajah Bee Kun Bu merah padam menyiratkan kegusaran"Kalaupun bukan demi ayah angkat dan guru, aku pun tidak akan melepaskan para iblis itu!""Kakak Bu, apakah kaum pedagang ini dibunuh oleh orang-orang berbaju putih?" tanya Lie Ceng Loan."Memang mungkin," sahut Pek Yun Hui dan menambahkan "Kalau bukan perbuatan mereka, siapa lagi yang begitu kejam membunuh para pedagang ini?"Pada saat mereka sedang berbicara, tiba-tiba sosok bayangan berkelebat menuju tempat itu, Meskipun masih begitu jauh, tapi Pek Yun Hui melihat dengan jelas, bayangan yang berkelebat itu adalah orang-orang berbaju putih. "Kita harus cepat bersembunyi di dalam gurun pasir untuk melihat gerak-gerik mereka!" ujar Pek Yun Kun Bu dan Lie Ceng Loan mengangguk Mereka bertiga lalu mengerahkan Ci'an Kin Tui llmu Memberatkan Badan Jadi Seribu Kati. Dengan ilmu tersebut badan mereka merosot ke dalam pasir, tinggal kepala mereka yang tampak dipermukaan. Yang Sedang berjalan Panji Sakti Khu Lung Yang sudah tamat 1. Hina Kelana 2. Golok Maut 3. Penggali MakamGu Long - Jin Yong - Liang Yusheng Gu Long Gu Long, yang memiliki nama asli Xiong Yaohu 1937-1985, merupakan penulis cerita silat terpopuler di Taiwan. Keluarganya berasal dari propinsi Jiangxi, China, dan Gu Long lahir di Hong Kong pada tahun 1937. Pada saat berumur 13 tahun, ia pindah ke Taiwan bersama kedua orangtuanya, yang bercerai tidak lama setelah itu. Pada masa awal hidupnya di Taiwan, Gu Long tinggal di sebuah kota tua bernama Ruifang di pinggir kota Taipei, dan mengambil studi di jurusan Inggris sebuah akademi terkemuka Tamkang English Junior College sekarang bernama Universitas Tamkang. Tidak seperti kebanyakan orang yang berusaha keras menyelesaikan studinya agar dapat bekerja di kota besar, Gu Long tidak menyelesaikan studinya dan malah kembali ke kota kecilnya untuk menjalani kehidupan tenang dan mewujudkan impian hidupnya mengarang buku. Gu Long mulai menulis novel di usia 11 tahun dan memperoleh royalti tulisannya yang pertama di usia 19 tahun. Tema utama novel dan prosanya pada awalnya adalah cinta, namun namanya baru melambung dan dikenal orang saat teman-temannya mendorongnya untuk menulis novel cerita silat. Pada awal tahun 60-an Gu Long, di usianya yang ke-23, berkonsentrasi penuh menulis cerita silat. Kisah cinta dalam novel-novel silatnya begitu realistis, mungkin karena pengalamannya sekian tahun menulis kisah cinta, dan gaya penulisannya begitu unik dan orisinil. Karir Menulis Karya Gu Long muncul pada waktu yang tepat saat novel cerita silat sedang digemari baik di Taiwan maupun di Hong Kong. Karir menulisnya yang berlangsung lebih dari 20 tahun secara kronologis dapat dibagi ke dalam 3 periode utama. Karya-karyanya yang ditulis pada periode pertama, seperti Cangqiong Shen Jian dan Piao Xiang Jian Yu, tidak berbeda dengan karya-karya novelis-novelis umum lainnya. Pada periode yang kedua barulah Gu Long mengekspresikan gayanya yang khas dan unik serta pemikirannya yang dalam. Karyanya seperti Da Qi Yingxiong Zhuan dan Juedai Xuang Jian Pendekar Binal/The Remarkable Twins telah mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tiga novelis utama Taiwan, Zhu Qingyun, Wo Longsheng, dan Si Maling; mereka berempat disebut dengan “The Four Masters of Taiwan”. Setelah itu muncullah karya-karyanya yang paling terkenal, seperti Chu Liu Xiang Pendekar Pencabut Nyawa dan Duoqing Jianke Wuqing Jian Pendekar Budiman/Romantic Swordsman. Cerita Chu Liu Xiang yang menggabungkan cerita silat, detektif, dan tema cinta, begitu mempesona dan diakui sebagai kisah Sherlock Holmes-nya Asia. Meski Gu Long tidak pernah berhenti menemukan ide-ide baru untuk menghibur para pembacanya, cerita-cerita yang dibuatnya di periode yang terakhir dalam perjalanan karirnya tidak disambut sebaik buku-buku yang ia tulis sebelumnya. Setelah tahun 1975 karyanya menjadi semakin buruk, dan gayanya telah banyak ditiru oleh para penulis pendatang baru. Saat gayanya memudar, kejayaan novel-novel cerita silat pun turut surut bersamanya. Sebuah Pribadi yang Kontroversial Gu Long merupakan seorang yang berkepribadian unik dan kontroversial. Ia hanya mau berbicara dengan mereka yang dikenalnya dengan baik. Ia selalu memulai penulisannya dengan memotong kukunya terlebih dahulu temannya menjelaskan bahwa sesungguhnya Gu Long menggunakan waktu tersebut untuk menyusun dalam benaknya alur cerita yang akan ditulisnya. Ia kadang duduk dan berbaring di atas sebuah papan tulis, karena percaya dengan melakukan itu inspirasi akan mengalir memasukinya. Gu Long sangat suka minum alkohol dan merupakan seorang perokok berat. Ia dapat menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok dalam semalam penyusunan novelnya. Ia juga memiliki reputasi yang buruk di mata penerbit-penerbit, karena ia meminta pembayaran royalti yang tinggi di muka kepada penerbitnya, namun kemudian gagal menyelesaikan novelnya sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan. Akan tetapi penerbit-penerbitnya tersebut menerima saja dari waktu ke waktu, karena mereka takut kehilangan Angsa Emas mereka tersebut. Kisah Cinta Kesempurnaan hidup di mata Gu Long terdiri dari pena, alkohol, dan wanita cantik. Ia menikah 2 kali dan keduanya berakhir dengan perceraian. Dari ke-2 pernikahannya itu ia dikaruniai 3 orang putra dan sebuah luka batin yang mendalam. Kegagalannya dalam membina keluarga mungkin dapat dikatakan karena sifatnya yang suka berfoya-foya. Namun meski gagal dalam 2 pernikahannya tersebut, Gu Long tidak pernah kekurangan wanita cantik dalam hidupnya. Dunia literatur pada waktu itu begitu penasaran mengapa seorang Gu Long yang tampangnya biasa-biasa saja dapat memikat begitu banyak wanita cantik. Sebagian mengatakan bahwa itu dikarenakan kekayaannya, namun Ding Qing murid dari Gu Long, yang mengenalnya dengan baik, mengatakan bahwa karisma Gu Long ada dalam kesepiannya – dan itulah yang telah memikat begitu banyak wanita cantik. Wanita-wanita yang mengenal Gu Long mengerti bahwa ia adalah seorang laki-laki kesepian yang mengejar hal-hal yang baru karena hatinya yang penuh dengan kesepian. Karenanya, Gu Long telah mencintai banyak wanita, namun tidak ada satu hubungan pun di antaranya yang berlangsung lama. Meski Gu Long tidak dapat hidup tanpa teman wanita, ia seringkali mengabaikan wanita yang dicintainya untuk bisa bersama-sama dengan teman-temannya. Sikapnya ini, yang menganggap teman wanita mudah dicari namun sahabat baik sulit untuk ditemukan, telah menimbulkan kebencian di hati teman-teman wanitanya, begitu juga sikapnya yang menganggap hidup ini dengan tidak serius. Akibatnya ke-2 wanita yang menceraikannya dan wanita-wanita lain yang pernah dekat dengannya semua berakhir dengan tidak pernah dapat mengampuni sikapnya itu. Gu Long sebenarnya ingin mengubah cara hidupnya, namun ia tidak mampu. Ia tidak ingin orang lain seperti dirinya. Ia sadar betapa banyak hutang cinta yang dimilikinya. Kehidupannya yang Singkat Gu Long menjadi termasyur di usia muda, namun ia juga meninggal di usianya yang masih muda, pada umur 48 tahun, tanggal 21 September 1985. Ia mati karena alkohol. Alkohol telah menjadi sahabatnya melewati masa susah dan senangnya, namun juga telah menjadi penyebab kerusakan hatinya Gu Long mengidap sakit pengerasan di hatinya/hepatocirrhosis. Pada tanggal 21 September 1985 Gu Long jatuh koma, dan kata-kata terakhirnya adalah “Mengapa tidak ada salah seorang teman-teman wanitaku yang datang mengunjungi aku?” Malam itu pukul 606pm, di rumah sakit Tri-service Taipei, Gu Long mengakhiri penjalanan hidupnya, meninggalkan lingkaran karya tulisnya dan dunia ini untuk selamanya. Para penggemar karya-karyanya terkejut dengan berita tersebut. Teman-teman baiknya menitikkan air mata di depan batu nisannya, tidak mempercayai kepergian Gu Long yang begitu cepat tersebut. Namun, hampir tidak ada seorang pun sanak-saudara, termasuk wanita-wanita yang pernah pernah satu waktu dekat dengannya, hadir pada acara penguburannya. Para profesional menulis untuk mengungkapkan penyesalan mereka akan perginya Gu Long Ngai Hong berkata, orang menggunakan Jin Yong sebagai panutan sebelum munculnya novel-novel Gu Long. Hanya Gu Long yang dapat mendobrak keteladanan Jin Yong tersebut dan menciptakan sebuah gaya yang baru. Insan televisi dan dunia film berkomentar bahwa karya Gu Long merupakan sebuah terobosan dalam sejarah novel-novel cerita silat. Gu Long tidaklah mati, karena karya-karyanya akan tetap bersama dengan kita, teristimewa kreativitasnya yang telah memberi kita cara berpikir yang baru. Karya-karyanya Tahun Judul Cerita Bahasa Inggris 1960 1960 1960 1960 1960 1960 1961 1961 1962 1962 1962 1963 1963 1964 Cangqiong Shen Jian Yue Yi Xing Xei Jian Qi Shu Xiang Xiang Fei Jian Jian Du Mei Xiang Guxing Zhuan Shi Hun Yin You Xia Lu Hu Hua Ling Cai Huan Qu Can Jin Que Yu Piao Xiang Jian Yu Jian Xuan Lu Jianke Xing Huan Hua Xi Jian Lu Divine Sky Sword Eerie Moon and Evil Star The Aura of the Sword and the Fragrance of the Book Bagian kedua ditulis oleh Mo Yusheng Lady Xiang's Sword The Poisonous Sword and the Fragrant Plum Blossom Kebanyakan ditulis oleh Shangguan Ding The Lonestar Swordsman The Story of the Lost Soul The Tale of a Wandering Swordsman Flower-Guarding Bell / Amanat Marga Tune of the Colourful Ring Broken Gold and Incomplete Jade Lingering Fragrance in the Rain of Sword The Tale of a Remarkable Sword The Journey of a Swordsman The Tale of Refining the Sword Like Cleansing the Flower / Misteri Kapal Layar Panca Warna 1964> Qingren Jian / The Lover's Sword 1965> Da Qi YingXiong Zhuan Tie Xie Da Qi / The Legend of the Passionate Daqi Hero 1965> Wulin Wai Shi / A Fanciful Tale of the Fighting World / Pendekar Baja 1966> Ming Jian Fengliu / A Graceful Swordsman / Renjana Pendekar Bagian penutupnya ditulis oleh Qiao Qi 1967> Jueidai Xuang Jian / The Remarkable Twins / Pendekar Binal ?> Chu LiuXiang Chuanqi / The Legend of Chu LiuXiang / Pendekar Pencabut Nyawa 1968> Xie Hai Piao Xiang / Lingering Fragrance in the Sea of Blood / Maling Romantis 1969> Da Shamo / The Great Desert / Rahasia Ciok Kwan Im 1970> Huamei Niao / The Thrush / Peristiwa Burung Kenari ?> Chu Liu Xiang / Sequel to Chu Liu Xiang 1970> Gui Lian Xia Qing / The Love Story of A Ghost and a Swordsman / Pendekar Harum 1970> Duoqing Jianke Wuqing Jian / The Sentimental Swordsman and the Ruthless Sword / Pendekar Budiman Dikenal juga sebagai Little Lee's Flying Dagger/Romantic Swordsman 1971> Bianfu Chuanqi / The Legend of the Bat 1971> Huanle YingXiong / A Merry Hero / Pendekar Riang 1971> Da Renwu / A Big Shot / Tokoh Besar 1972> Taohua Chuanqi / The Legend of the Peach Blossom 1973> Xiao Shiyi Lang / The Legend of the Deer-Carving Sabre / Cinta Kelabu Seorang Pendekar Dikenal juga sebagai Treasure Raiders 1973> Liuxing, Hudie, Jian / Shooting Star, Butterfly, Sword 1974> JiuYue Ying Fe / The Eagle Flying in September / Gadis Boneka ?> Qi Zhong WuQi / Seven Kinds of Weapons 1974> Changsheng Jin / Longevity Sword / Pedang Panjang Umur 1974> Biyu Dao / Jade Sabre / Golok Kemala Hijau 1974> Kongque Ling / Peacock Feather / Badik Merak 1974> Duoqing Huan / Sentimental Ring 1975> Bawang CIANG / King Spear 1975> Tianya, Mingyue, Dao / The End of the World, The Bright Moon, The Sabre / Peristiwa Bulu Merak 1975> Qi Shashou / Seven Assassins 1975> JiAn, Hua, Yianyu, Jiang Nan / Sword, Flower, Misty Rain, South of the Yangzi River 1975> Ciangshou, Shouqiang / The Gunman and the Pistol cerita pertarungan modern menggunakan pistol 1975> San Shaoye De Jian / The Sword of the third little master / Pendekar Gelandangan 1976> huopin xiao shiyi lang / the sequel to the deer-carving sabre 1976> Quantou / Fists 1976> Lu XiaoFeng Chuanqi / The Legend of Lu XiaoFeng 1976> Xiuhua Da Dao / The Bandit who did needlework 1976> Juezhen qian hou / Before and after the final duel 1976> Bian Cheng Langzi / The Black Sabre / Peristiwa Merah Salju 1976> Xie Yingwu / The Bloody Parrot 1976> Bai yu laohu / white-jade tiger / harimau kemala putih 1976> dadi fei ying / land of the condors 1977> Yin gou dufang / silver-hook gambling house 1977> youling shanzhuang / phantom manor 1977> yuan yue wan dao / full moon curved sabre / Golok bulan sabit/dewa golok sebagian besar ditulis oleh sima ziyan 1977> Bi Xie xi yin ciang / green-blood silver-cleansing spear 1977> fei dao, you jian fe dao / flying knife, flying knife returns sekuel dari flying dagger atau romantic swordsman 1978> Xin yue chuanqi / the legend of the new moon 1978> Libie Gou / Parting Hook 1978> Feng wu jiu tian / the phoenix dancing on the ninth level of the heaven / manusia tanpa wujud 1978> Yingxiong wu lei / a hero without tears 1978> qi xing long wang / seven-star dragon king 1979> wuye lanhua / the orchid at midnight 1980> feng ling zhong di dao sheng / the sound of the sabre accompanied by wind chimes penutupannya ditulis oleh yu donglou 1981> bai yu diao long / white-jade carved dragon / Lencana pembunuh naga sebagian besar ditulis oleh zhong suimei 1981> jian shen yi xiao / the smile of the sword god 1982> nu jian kuang hua / furious sword and mad flowers sebagian besar ditulis oleh ding qing 1982> na yi jian de fengqing / the subtle touch of the sword sebagian besar ditulis oleh ding qing 1983> bian cheng dao sheng / the sound of the sabre in a border town sebagian besar ditulis oleh ding qing 1984> lieying, duju / hunting hawk, gambling game Jin Yong Jin Yong, yang memiliki nama asli Cha Liang Yong atau dikenal sebagai Louis Cha di kalangan internasional, dilahirkan di Zhejian China pada tahun 1924. Dia sebenarnya belajar untuk menjadi seorang diplomat namun malah mengejar karir di bidang jurnalistik. Bosan hanya menulis berita, Jin Yong mulai mencoba menulis resensi film, menulis skenario film, sampai pada akhirnya menulis novel. Menulis novel inilah rupanya kekuatan utama dari Jin Yong. Novel pertama Jin Yong ditulis pada tahun 1955 dengan judul Pedang dan Kitab Suci Shu Jian En Chou Lu. Novel ini diterbitkan secara berseri di suratkabar Xin Wan Bao, Hong Kong, dan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Jin Yong kemudian mendirikan suratkabarnya sendiri, dengan nama harian Ming Pao Daily, dan menerbitkan novel-novelnya secara berkala di suratkabarnya tersebut. Secara total terdapat 13 novel 12 novel panjang dan 1 novel pendek dan 2 cerita pendek yang ditulis Jin Yong dalam selang waktu 17 tahun, dari tahun 1955 sampai 1972. Tahun 1972 Jin Yong menyelesaikan penulisan novelnya yang terakhir, Kaki Tiga Menjangan Lu Ding Ji, yang telah dimulainya sejak 1969 dan berikrar untuk tidak menulis novel lagi. Sampai hari ini ikrarnya masih tetap dipegang, namun nama besarnya terus hidup. Karya-karyanya 1955> Shu Jian En Chou Lu / Pedang dan Kitab Suci 1956> Bi Xue Jian / Pedang Ular Emas 1957> She Diao Ying Xiong Zhuan / Legenda Pendekar Rajawali 1959> Shen Diao Xia Lu / Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 1959> Xue Shan Fei Hu / Rase Terbang dari Pegunungan Salju 1960> Fei Hu Wai Zhuan / Si Rase Terbang 1961> Yi Tian Tu Long Ji / Pedang Langit & Golok Naga 1961> Yuan Yang Dao / Sepasang Golok Mustika 1961> Bai Ma Xiao Xi Feng / Kuda Putih Menghimbau Angin Barat 1963> Lian Cheng Que / Pedang Hati Suci 1963> Tian Long Ba Bu / Pendekar-Pendekar dari Negeri Tayli 1965> Xia Ke Xing / Medali Wasiat 1967> Xiao Ao Jiang Hu Hina Kelana 1969> Lu Ding Ji / Kaki Tiga Menjangan 1970> Yue Nu Jian /Pedang Puteri Yue Liang Yusheng Liang Yusheng merupakan nama pena Chen Wuntong. Ia lahir di kabupaten Mengshan, propinsi Guangxi. Tumbuh dalam sebuah keluarga yang terkemuka, ia memiliki kesempatan untuk membaca banyak tulisan-tulisan dan puisi-puisi klasik. Ia mengikuti Profesor Jian Youwun mempelajari sejarah di tahun 1943, dan kemudian masuk ke Universitas Lingnan untuk belajar ilmu Ekonomi Internasional. Setelah lulus ia bekerja di surat kabar Sin Wan Bao di Hong Kong, dan tinggal di sana setelah tahun 1949. Liang Yusheng suka membaca novel-novel keksatriaan sejak ia masih kanak-kanak. Sebagai seorang penulis berbakat yang menaruh minat kepada sejarah dan kesusasteraan, ia telah menulis banyak kolom, kritik, dan esai dibawah berbagai nama seperti Liang Hueru dan Fong Yuning. Pada tahun 1954 Hong Kong mengadakan sebuah perlombaan untuk umum menampilkan dua sekolah silat terpandang, Taiji dan Baihe. Seluruh kota sangat bergairah dan menantikannya. Surat kabar, Sin Wan Bao, sehubungan dengan itu mendorong Liang Yusheng untuk menulis sebuah serial silat untuk menghibur para pembacanya. Liang Yusheng pun mulai menulis novel pertamanya yang diberi judul Longhu Dou Jinghua, yang sangat sukses di pasaran. Ia pun terus menulis dan menjadi terkenal. Dari tahun 1954 sampai 1984 ia telah menghasilkan 36 buah buku. Liang Yusheng diakui sebagai penulis cerita silat Hong Kong yang paling berpengaruh sama seperti reputasi yang dimiliki Jin Yong. Biasanya Liang Yusheng mengawali novel-novelnya dengan sebuah puisi. Tokoh utama dalam novel-novelnya serba bisa dan tertarik kepada kesusasteraan. Menggabungkan kejadiaan-kejadian sejarah dengan kisah-kisah fiksi juga merupakan gaya Liang Yusheng. Ia tidak memandang Shaolin dan Wudang sebagai partai silat utama seperti yang dilakukan penulis-penulis cerita silat lainnya, sebaliknya ia memuja Partai Tianshan sebagai partai silat yang terutama. Tiga buah novel karyanya yang ia sendiri paling sukai adalah Pingzong Siaying Lu, Nyudi Ciying Jhuan, dan Yunhai Yugong Yuan. Karya-karyanya 1954> Long Hu Dou Jing / Thay Kek Kie Hiap Toan I / Lelakonnja Dua Saudara Seperguruan Golongan Thay Kek Pay 1954> Cao Mang Long She Zhuan / Thay Kek Kie Hiap Toan II / Lelakonnja Dua Saudara Seperguruan Golongan Thay Kek Pay 1956> Qi Jian Xia Tian Shan / Tjhit Kiam Hee Thian San / Tujuh Jago Pedang Dari Thian San 1957> Bai Fa Mo Nu Zhuan / Giok Lo Sat - Pek Hoat Mo Lie / Wanita gagah perkasa - Hantu Wanita Berambut Putih 1957> Sai Wai Qi Xia Zhuan / Tjauw Guan Eng Hiong Toan / Pahlawan-pahlawan dari Padang Rumput 1957> Jiang Hu San Nu Xia / Kang Ouw Sam Lie Hiap / Tiga Dara Pendekar 1959> Huan Jian Qi Qing Lu / Hoan Kiam Kie Tjeng / Sebilah Pedang Mustika 1959> Ping Zong Xia Ying Lu / Peng Tjong Hiap Eng / Antara Dendam Hati dan Tjinta Kasih / Pahala dan Murka 1959> Bing Chuan Tian Nu Zhuan / Peng Tjoan Thian Lie / Bidadari dari Sungai Es 1960> San Hua Nu Xia / San Hoa Lie Hiap / Pendekar Wanita Penyebar Bunga 1960> Hong Xian Nu Xia Zhuan 1960> Jin Ying Jian 1961> Nu Di Qi Ying Zhuan / Lie Tee Kie Eng / Pendekar Aneh 1961> Lian Jian Feng Yun Lu / Lian Kiam Hong In / Kisah Pedang Bersatu Padu 1961> Yun Hai Yu Gong Yuan / Yin Han Giok Kong Lu / Perjodohan Busur Kemala 1962> Bing Po Han Guang Jian / Peng Pok Han Kong Kiam / Pedang Inti Es 1963> Bing He Xi Jian Lu Peng Ho Swi Kiam Pedang di Sungai Es 1965> Feng Lei Zhen Jiu Zhou Hong Lui Tjin Kiu Tjiu Geger Dunia Persilatan 19. 1967> Xia Gu Dan Xin / Hiat Kut Thian Sin / Pendekar Jembel 1963> Da Tang You Xia Zhuan / Tay Tong Yoe Hiap Toan / Kisah Bangsa Petualang 1964> Long Feng Bao Chai Yuan / Liong Hong Poo Tjee Yan / Tusuk Konde Pusaka 1964> Tiao Deng Kan Jian Lu / Pendekar Latah 1966> Hui Jian Xin Mo / Hui Kiam Sim Mo / Jiwa Ksatria ? Fei Feng Qian Long / Hoei Hong Tjiam Liong / Musuh di balik Selimut 1968 Han Hai Xiong Feng / Han Hay Hiong Hong / Pahlawan Gurun 1968 Ming Di Feng Yun Lu / Pendekar Sejati 1969 You Jian Jiang Hu / Kelana Buana 1970 Feng Yun Lei Dian 1972 Guang Ling Jian 1972 Mu Ye Liu Xing / Patriot Padang Rumput 1972 Wu Lin San Jue 1975 Jue Sai Zhuan Feng Lu / Durjana dan Ksatria 1977 Tan Zhi Jing Lei / Taruna Pendekar 1980 Wu Dang Yi Jian / Bu Tong It Kiam 1984 Kuang Xia, Tian Jiao, Mo Nu / Bong Hiap, Thian Kiauw Mo Lie / Pendekar Gila, Tiga Tokoh Naga Sakti 1984 Wu Lin Tian Jiao ? Jian Wang Chen Si ? Huan Jian Ling Qi DAFTAR JUDUL CERITA SILAT MANDARIN LENGKAP Karya KHU LUNG Seri Pendekar Harum Chu Liu Xiang Xu Ji 1. Maling Romantis Xue Hai Piao Xiang Gan KH 2. Rahasia Ciok Kwan Im Da Sha Mo Gan KH 3. Peristiwa Burung Kenari Hua Mei Niao Gan KH 4. Mayat Hidup Kesurupan Roh Gui Lian Xia Qing Gan KL 5. Legenda Kelelawar Bian Fu Zhuan Qi Gan KL 6. Legenda Bunga Persik Tao Hua Zhuan Qi 7. Legenda Bulan Sabit Xin Yue Zhuan Qi 8. Bunga Anggrek di Tengah Malam Wu Ye Lan Hua Seri Pendekar 4 Alis Lu Xia Feng 1. Kaisar Rajawali Emas Gan KL 2. Si Bandit Penyulam Gan KL 3. Duel Antara dua Jago Pedang Gan KL 4. Rumah Judi Pancing Perak Gan KL 5. Keajaiban Negeri Es Gan KL 6. Perkampungan Hantu Gan KL 7. Duel di Butong Gan KL 8. Manusia Yang Bisa Menghilang Gan KL 9. Sang Ratu Tawon Gan KL 10. Senyuman Dewa Pedang Tjan ID Seri 7 Senjata Qi Zhong Wu Qi Zhi 1. Pedang Abadi Zhang Sheng Jian Liang YL 2. Bulu Merak/Badik Merak Kong Que Ling Liang YL 3. Golok Kumala Hijau Bi Yu Dao Tjan ID 4. Gelang Perasa Duo Qing Huan Liang YL 5. Pukulan Si Kuda Binal Li Bie Gou Gan KH 6. Kuda Binal Kasmaran Quan Tou Tjan ID 7. Kait Perpisahan Ba Wang Qian Seri Pendekar Binal Jue Dai Shuang Jiao 1. Balada Kelana Gan KL 2. Bakti Pendekar Binal Gan KL 3. Bahagia Pendekar Binal Gan KL Seri Renjana Pendekar Ming Jian Feng Liu 1. Renjana Pendekar Gan KL 2. Imbauan Pendekar Gan KL Seri Harimau Kemala Putih 1. Harimau Kemala Putih Bai Yu Lao Hu Tjan ID 2. Naga Kemala Putih Bai Yu Diao Long Tjan ID Seri Bara Maharani 1. Bara Maharani Yi Jian Gai Zhongyuan Tjan ID 2. Tiga Maha Besar Tjan ID 3. Rahasia Hiolo Kemala Xia Ke Qian Qiu Tjan ID 4. Neraka Hitam Tjan ID Serial Pisau Terbang Siao Li Duo Qing Jian Ke Wu Qing Jian Pendekar Baja Wulin Wai Shi Gan KL Li Si Pisau Terbang Xiao Li Fei Dao / dulu judulnya Pendekar Budiman Gan KL Peristiwa Merah Salju Bian Cheng Lang Zi Gan KH Rahasia Mo Kau Kaucu Jiu Yue Ying Fei / dulu Gadis Boneka Gan KH Peristiwa Bulu Merak Tian Ya, Ming Yue, Dao Gan KH Pendekar Gelandangan San Shao Ye Di Jian Tjan ID Golok Bulan Sabit Yuan Yue Wan Dao Tjan ID Cinta Kelabu Seorang Pendekar / Anak Berandalan Xiao Shi Yi Lang Gan KH/OPA Bentrok Para Pendekar Huo Bing Xiao Shi Yi Lang Gan KH Pendekar Kembar Gan KL Pendekar Setia lanjutan pendekar kembar Gan KL Amanat Marga Hu Hua Ling Dendam Asmara Goat Ek Seng Shia / Anak Harimau Yue Yi xing Xei OKT/OPA Dendam Sejagat Cang Wan Hen Hikmah Pedang Hijau Wu Qing Bi Jian Gan KL Cheng Hwa Lie Hiap, Pendekar Bunga Cinta Qing Ren Jian Tokoh Besar Da Ren Wu Gan KH Antara Benci Dan Dendam Liu Xing, Hu Die Jian / Meteor Kupu-kupu dan Pedang LLG Golok Bergetar Lonceng Berdenting Feng Ling Zhong Di Dao Sheng Siau Yen Kemelut Di Ujung Ruyung Mas Mi Jian Shen Sing Gan KL Bunga Pedang Embun Hujan KangLam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Tjan ID Darah Kesatria/Harkat Pendekar Bie Xue Xi Yin Qiang Gan KH Golok Yanci Pedang Pelangi Hong Xiu Dao Jue Gan KL Lencana Pembunuh Naga Tu Long Ling Tjan ID Misteri Kapal Layar Panca Warna Huan Hua Xi Jian Lu / Sukma Pedang Gan KL Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Long Wang Siau Siau/Tjan ID Pendekar Cacad Wu Lin Sie Jie Tjan ID Pendekar Riang Huan Le Ying Xiong Tjan ID Pendekar Satu Jurus Wu Lin Ba Zhu Gan KL Pulau Neraka Da Xia Hu Bu Tjan ID Rahasia 180 Patung Mas Bai Ba Jin Ren Gan KL Rahasia Peti Wasiat You Xia Lu Gan KL Raja Naga Tujuh Bintang Qi Xing Long Wang YNT Tujuh Pembunuh Qi Sha Sou Tjan ID Sarang Perjudian Qun Hu Terbang Harum Pedang Hujan Elang Pemburu Golok Halilintar Thio Sin Houw Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Romantika Sebilah Pedang Na Yi Jian Di Feng Qing Bukit Pemakan Manusia Kedele Maut Lembah Tiga Malaikat Panji Sakti Pukulan Naga Sakti Si Pedang Kilat Karya CHIN YUNG Sia Tiau Gwa Toan Lima Djago Luar Biasa* Sin Liong Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan* Sin Liong Hoasan Lun Kiam* Sin Liong Trilogi Kisah Memanah Rajawali 1. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong OKT 2. Kembalinya Pendekar Rajawali Sin Tiauw Hiap Lu Boe Beng Tjoe 3. Kisah Membunuh Naga To Liong To OKT Anak Naga Bu Lim Hong yun Karya Sin Liong Ksatria Baju Putih Pek In Sin Hap Karya Sin Liong Sin Tiauw Thian Lam* Karya Sin Liong Beruang Salju* Karya Sin Liong Anak Rajawali* Karya Sin Liong Pendekar Aneh Seruling Sakti* Karya Sin Liong Putri Harum dan Kaisar Su Kiam In Siu Lok / Pedang dan Kitab Suci Wen Hua/Gan KT Kaki Tiga Manjangan Lu Ding Ji OKT Kisah Si Rase Terbang Soat San Hui Ho versi asli OKT Swat San Hoei Hoe Si Rase Terbang Dari Pegunungan Saldju Siang Djin Balada Kaum Kelana/Hina Kelana Siauw Go Kang Ouw Gan KL Kuda Putih Pek Ma Siauw Si Hong OKT Medali Wasiat Xia Ke Xing / Kisah Para Pendekar Hiap Kek Heng Gan KL/Aicu Pendekar Lugu Gan KL Pedang Gadis Yueh Giok Lie Kiam/Wat Lie Kiam Yueh Nu Jian Serial Silat Pedang Hati Suci Soh Sim Kiam Gan KL Pedang Ular Emas Kim Coa Kiam OKT - Bunga Perak Pedang Neraka lanjutan Pedang Ular Mas bkn karya Chin Yung Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Pou Gan KL Pasangan Pendekar Sakti lanjutan Thian Liong Pat Poh* Karya Sin Liong Sepasang Golok Mustika Wan Yo Too OKT Harpa Iblis Jari Sakti Bara Naga Kitab Pusaka Karya Sin Liong Tat Mo Cousu Badai Di Siau Lim Sie lanjutan Tat Mo Cousu Kanglam Koay Hiap Pendekar Kocak Karya LIANG IE SHEN Seri Thian San Sebilah Pedang Mustika Hoan Kiam Kie Tjeng OKT Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng OKT Pendekar Wanita Penyebar Bunga San Hoa Lihiap OKT Kisah Pedang Bersatu Padu Liang Kiam Hong In OKT Pendekar Pemetik Harpa KHONG LING KIAM Gan KH. Wanita Gagah Perkasa Giok Lo Sat & OKT Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie OKT Pahlawan Padang Rumput Thjau Guan Enghiong Gan KL 7 Pendekar Pedang Gunung Thian San Thian San Tjit Kiam Gan KL 3 Dara Pendekar Kangouw Sam Liehiap Gan KL Pedang Inti Es OKT Peng Pok Han Kong Kiam OKT Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Boe Beng Tjoe Perjodohan Busur Kumala pdf - OKT Kisah Pedang Di Sungai Es/Pengemis Berbisa Peng Ho Swe Kiam * Gan KL Geger Dunia Persilatan Hong Lui Tjin Kiu Tjiu Gan KL Pendekar Jembel Hiap Kut Tan Sin / Pendekar Hina Gan KH. Kelana Buana You Jian Jiang Hu Gan KH. Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Gan KH Gempa Taruna Pendekar Mu Ye Liu Xing SD. Liong Darma Taruna Pendekar SD. Liong Taruna Pendekar Danzhi Jinglei Tjan ID Durjana Dan Ksatria Jue Sai Chuan Feng Lu Gan KL Jala Pedang Jaring Langit Jian Wang Chen Si Bayangan Pedang Dan Panji Sakti Kisah Bangsa Petualang Thai Tong Yu Hiap Toan Tusuk Kundai Pusaka Liong Hong Po Tjha Wan SD Liong Jiwa Ksatria Hui Kiam Sin Mo OPA Pahlawan Gurun Han Hay Hiong Hong Gan KH. Pendekar Latah Tio Deng Kan Jian Lu Gan KH. Tiga Tokoh Maha Sakti Kuang Xia Tian Jiao Mo Nu=Bong Hiap Thian Kiauw Mo Lie Pendekar Sejati Ming Di Feng Yun Lu Gan KH. Si Angin Puyuh Feng Yun Lei Dian / Si Tangan Kilat Lay Hong In Lui Tan Gan KH. Wu Lin Tian Djiao Thay Kek Ki Hiap Toan Kisah Dua Saudara Seperguruan Thay Kek Pay OKT Pendekar Aneh Lie Tee Kie Eng / Memburu Putra Raja Boe Beng Tjoe Tiga Benggolan Maha Sakti Bu Lim Sam Ciat Liang Ie Shen Karya Chin Tung Bangau Sakti Sin Hok Sin Cin TSL Istana Di Rimba Keramat Sin Kiam Hui Liong Toan / Istana Kumala Putih OPA Senjata Penyebar Maut Tjit Kiam Mo Kiam Sin Tjie Pusaka Buntung Boe Beng Karya Chin Hung Lahirnya Dedengkot Silat / Raja Silat Tjan Tjian Hoa Kui Iblis Seribu Bunga Kim Yan Tjoe Karya Wu Lin Quao Zi/Xiong Ren Ji/Hiong Djin Tjie Bujukan Gambar Lukisan / Lambang Penangkal Maut + Misteri Lambang Maut OKT Menuntut Balas/Pembalasan Seorang Jagoan OKT Lentjana 7 Naga OKT Karya Tan Tjeng Hun Penggali Makam/Pedang Pembunuh Naga OPA Golok Maut Tjan Tjie Leng OPA Karya Tang Fei Pahlawan Harapan Liong Hong Kiam Lauw Tsu Eng Karya Tong Hong/Ting Hong Suling Pualam dan Radjawali Terbang Giok Tek Hwie Tiauw OPA Ko Goan Kie Hiap Pendekar Dataran Tinggi Tong Hong Saduran / Karya Buyung Hok Anak Pendekar Ilmu Pedang Mayapada/ Pendekar Pedang Wu Ci San Istana Terpendam / Rahasia Istana Kuno Manusia Durdjana Mustika Gaib Perintah Maut Saduran Chung Sin Anak OPA Mutiara Pusaka Kim Ta Wan Pembunuh Gelap OPA Raja Silat Pelenyap Sukma Saduran / Karya Chung Sin Jago Dari Daerah Biauw Kisah Panah 7 Warna Thaj It To Liong Kiam Manusia Beratjun Djin Kiam Gian Ong Pendekar Penasaran Pendekar Gagu Kim Eng Kiam Putri Radja Gunung Tongkat Rantai Kumala Kim Lan Phay / Seruling Kumala-sampul Chin Yung Saduran/Karya Gan Kok Hwie Gan KH Badik Buntung Bu Lim Su Cun Cincin Berdarah Hong Lui Bun / Memburu Naga Kumala - Tjan ID Malaikat Maut Musuh Bayangan Pedang Kayu Cendana Unta Sakti Pat Poh Thian Liong/Patung Emas Kaki Tunggal Pedang Darah Bunga Iblis Hoat Kiam Mo Hoa / Terror Bwe Hwa Hwe Put Joh Taysu Rahasia Si Badju Perak Tugas Rahasia Walet Emas Walet Perak Saduran / Karya Gan Kok Liang GAN KL Balada Kaum Kelana Chin Yung Bara Naga Ta Sak Sou Lioe Djun Jang Durjana Dan Ksatria Liang Ie Shen Ek Gwa To Liong Kisah Jago Terpendam Di Tanah Asing Hati Budha Tangan Berbisa Tok Jiu Hud Sim Hikmah Pedang Hijau Wu Qing Bi Jian Khu Lung Hong San Koay Khek Pendekar Aneh Dari Alas Pegunungan / Pendekar Misterius Misteri Kapal Layar Panca Warna Khu Lung Musuh Di Dalam Selimut Hui Hong Tjiam Liong Pahala Dan Murka Liang Ie Shen Pedang Kiri Pedang Kanan Pendekar Binal binal, bakti, bahagia Khu Lung Pendekar Budiman Khu Lung Pendekar Bungkuk / Sepasang Hantu Bungkuk - sampul SD. Liong Gan KL Pendekar Kidal Cin Cu Ling Tong Hong Giok Pendekar Satu Jurus Khu Lung Pendekar Rajawali Sakti bag 1, 2, dan 3 Chin Yung Rahasia 180 Patung Emas Khu Lung Thian Ge Tjiat Kiam Rahasia Benteng Kuno Si Pedang Kilat Tiga Pedang Tujuh Ruyung Sam Po Cu 3 Mutiara Saduran / Karya Hong San Khek Giok Siauw Gin Kiam Golok Naga Kembar Ngo Seng To Ong Sun Giok Hong Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat Saduran / Karya Kho Pek Hong Pendekar Durdjana Saduran / Karya Kho Pek Houw Naga Beracun Makam Mudjidjat Manusia Djahanam Sepasang Mustika Neraka Serial Saduran/Karya Kim Tiauw Pendekar Lengan Buntung Istana Hantu Saduran/Karya Kwee Oen Keng Pedang Pembunuh Asmara Pek Hiat Kim Tjee Lembah Burung Hong Bermimpi Cerita Lepas Saduran/Karya Liong Pei Yen Wan Hiap Beng Persekutuan Satria Utama / Ksatria Sakti - sampul Chin Yung Im Yang Kiam Gadis Berpedang Merpati Pendekar Pedang Sakti Bwee Hoa Kiam Hiap/Munculnya Seorang Pendekar - Tjan ID Saduran/Karya Oey Yong Bayangan Maut Seruling Haus Darah Hiat Tok Sian Djin - sampul Chin Yung Pukulan Berdarah Koay Hiap Hiat Kun Pendekar Botak Serial Saduran/Karya OHG Oh Hok Gie Pasangan Pendekar Lembah Tjatjad bag 1 Pasangan Pendekar Lembah Tjatjad bag 2 Pendekar suling Kumala Pedang Keadilan Pedang Keadilan bag 2 Intan Biru di Lembah Sesat Badai Di Rimba Persilatan Pahlawan Harapan Liong Hong Kiam Belibis Sakti Tjutjuran Darah Saduran/Karya OHPA Terror Tengkorak - Kelana Maut lanjutan Terror Tengkorak - Khu Lung Mawar Berdarah OHPA Saduran/Karya OKL Pedang Iblis Langit Thian Mo Kiam Seruling Pelenyap Sukma Thiat Tjui Tjen Bu Lim / Kitab Pusaka Rahasia Istana Hantu Kwie Pao / Tengkorak Maut-Tjan Karya WO LUNG SHEN Seri Rahasia Kunci Wasiat 1. Rahasia Kunci Wasiat 2. Bayangan Berdarah 3. Rahasia Istana Terlarang 4. Budi Kesatria Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1. Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 2. Makam Asmara Pena Wasiat Lambang Naga Panji Sakti Lovely Dear Pendekar Asmara Tangan Iblis Pengelana Tangan Sakti Pusaka Para Dewa Si Penakluk Dewa dan Iblis Tabib Gila Pendekar Cinta 1. Dendam Kesumat 2. Rahasia Lukisan Kuno 3. Bidadari Dari Thian-San Thian San Thian Lie 4. Perkampungan Misterius 5. Balada Pendekar Kelana Serial Saduran/Karya OKT Oey Kiem Tiang Nama lain Aulia, Boe Beng Tjoe berdua, K, KT, Huang. Hay Tong Kok Pertempuran di Lembah Hay Tong Zheng Zhengyin Eng Djiu Ong Zheng Zhengyin 9 Maharaja Pendekar Yang Berbudi Dusun Tanpa Lawan Hiat Hay Tjie Kioe Kang Lam Hiap Soe Kim Coa Kiam Pedang Ular Mas Kim Kiam Yan atau Nona Gagah Dari Hongkang Pedang Penakluk Golok Pembasmi / Pedang dan Golok Yang Menggetarkan Pedang Yang Menggetarkan / Iblis Sungai Telaga -Tjan ID Rahasia Gelang Kemala / Rahasia Gelang Pusaka Raja Yang Mengembara Kian Liong Kun Yu Kanglam Sebuah Tjap Keradjaan Giok Sie Toan Kie- Wu Lin Qiao Zi Lencana Keramat - Sampul Liang Ie Shen Sebilah Pedang Mestika Hoan Kiam Kie Tjeng Sembilan Dara Tjantik Kioe Bie To Sintju Eng Hiap Thjit Hiap Pat Kiam Warisan Seorang Pangeran Saduran/Karya Boe Beng Tjoe OKT Giok Bin Thian Lie Cula Naga Dan Pendekar Sakti Liong Kak Sin Hiap Panglima Wanita Perkasa Lie Kiat Cin Houw Toan Pat Kauw Cu Mestika Delapan Mata Si Bibir Merah Yan Tjie To Si Pedang Setan Saduran OPA Oh Peng An Hiat Liong Toan Tamu Dari Gurun Pasir I & II Toh Liong Keng Hong / Pendekar Gurun - sampul Khu Lung Serial Thian San Lui Tian Kiam See Hek Hui Liong Toan Kisah Si Naga Terbang Thian San Lui Tian Kiam Pedang Kilat Dari Thian San Buku Hitam Hek Sie Menebus Dosa Lanjutan Buku Hitam Air Mata Dan Darah Kang Ouw Lui / Pedang Air Mata Darah Bayangan Darah Berkelebatnya Sinar Pedang Kiam Khie Kay Sam Ho Bidadari Dalam Sarang Hantu Dara Perkasa Berbaju Merah Tjek Sim Ang Hiap Djeritan Sukma di Lembah Maut Golok Maut Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Kipas Wasiat Lembah Beracun, Cover Khu Lung / Lembah Patah Hati Lembah Merpati Makam Bunga Mawar Tjukat Tjeng In Manusia Dari Acherat / Hati Budha Tangan Berbisa - Gan KL Naga Merah I& II - Khu Lung Pahlawan Benteng Pandji Pusaka Pandji Wulung / Gagak Hitam - cover Karya Chin Yung Pintu Neraka Rahasia Kampung Setan - OPA - lihat Tjan ID Selamat Pulang Neraka / Gapura Neraka, Cvr Khu Lung Tangan Berbisa, Cvr Khu Lung Sepasang Pendekar Djelita Tjeng Hiap Siang Tju Si Pincang Bu Lim Mo Djit Kie / Pendekar Keramat - sampul Khu Lung Terror Djimat Merah Saduran/Karya Sie Djiak Liong SD Liong Lam Beng Tjiam Liong Naga Dari Selatan Hengtian Siau To Lanjutan Lam Beng Tjiam Lion Pendekar Bloon karya SD Liong Bloon Cari Jodoh Lanjutan Pendekar Bloon karya SD Liong Tjiok Tik Tjiam Long Djago Silat Di Telaga Agung / Dendam Asmara Pukulan Naga Berbisa Kim Go Tok Tjiang/Benci Tapi Rindu lanjutan Dendam Asmara Gan KH. Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Makam Asmara Lanj. Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Payung Sengkala Tjan ID Kelelawar Hijau Lanj. Payung Sengkala Dongfong Bai 3 Kitab Pusaka 7 Dara Perkasa / Sepasang Wanita Perkasa Rase Kemala Giok Hou Ko Kiam / Istana Seratus Bunga Golok Pemburu Petir Kuda Besi Dari Istana Biru Kuntilanak / Wanita Iblis Lembah Naga Bermimpi Liong Theng Kiam Hui Pahlawan Laut Selatan Misteri Panji Tengkorak Pandji Sakti = Perebutan Panji Sakti, = Putri Raja Gunung Bulim Kian Kun Kiam Pandji Tengkorak Toh Hun Kie Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Kie Pendekar Delapan Penjuru Pat Hong Eng Hiong Banxia Louzhu Pendekar Laknat / Dewa Lembah Penasaran / Pendekar 3 Zaman Bila Pedang Berbunga Dendam Pedang Kunang-kunang Pedang Tanduk Naga Pendekar 100 Hari Pendekar Banci Pendekar Komersil Pendekar Tengkorak Pusaka Negeri Tayli Pukulan Hitam Rahasia Istana Salju / Rahasia Istana Es Peng Kok Ki Wan Singa Emas Saduran / Karya See Bun Yang 3 Pendekar Perguruan Sejati hal. dalam ditulis Liang Ie Shen = Perguruan Sejati sampul Khu Lung Saduran/Karya Tan Seng Tjeng Topeng Setan Saduran/Karya Tang KL Sepasang Pedang Ajaib Ling Liong Siang Kiam 4 Pendekar Menggetarkan Kang Ouw = Bangau Sakti - Chin Tung Saduran Tjan ID Tjan Ing Djioe Angin Topan Badai Rimba Persilatan Dewa Maut Harimau Putih Bagian I & II Imam Tanpa Bayangan Bagian I & II Seri Kunci Wasiat Rahasia Kunci Wasiat Bayangan Berdarah Rahasia Istana Terlarang Misteri Istana Terlarang Budi Ksatria Pendekar Bayangan Setan =Bayangan Iblis Misteri Bayangan Setan Pedang Berkarat Pena Beraksara Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Berkarat Pena Beraksara Pedang Keadilan Bag. 1 & 2 Iblis Sungai Telaga Anak Harimau Siau-siau 7 Pusaka Rimba Persilatan / Bentroknya Rimba Persilatan Batu Kumala Sakti Bayangan Iblis / Pendekar Bayangan Setan Bukit Pemakan Manusia Cincin Maut Cing Mo Ce Wolong Shen Dua Belas Naga Perkasa Jago Kelana Istana Borang Kedelai Maut Kereta Berdarah Kitab Pusaka Lembah Berdarah Lembah Nirmala Pendekar Kepala Batu/Pendekar Tanpa Tanding Tse Yung Lembah Tiga Malaikat Manusia Srigala Memburu Naga Kumala = Hong Lui Bun - Gan KH Misteri Rumah Berdarah Munculnya Seorang Pendekar = Bwee Hoa Kiam Hiap Pendekar Pedang Sakti - LPY Panji Naga Sakti = Lambang Naga sampul-Khulung Patriot Padang Rumput Liang Ie Shen Pedang Pelangi /Cai Ong Kiam atau Jay Hong Ci'en Pembunuh Misterius Pena Wasiat Chin Hung Pendekar Bego Pendekar Muka Buruk Pendekar Patung Emas Jin Hong Pendekar Bersinar Kuning / Perebutan Patung Emas Pukulan Naga Sakti Pusaka Naga Mas Putri Neraka Rahasia Kampung Setan = Kampung Setan - OPA Sabuk Kencana Setan Harpa Telapak Setan Tengkorak Maut = Rahasia Istana Hantu - OKL Saduran/Karya Tse Yung Pendekar Kepala Batu = Pendekar Tanpa Tandingan = Lembah .Nirmala - sampul Tjan ID Pusaka Rimba Hijau Bu Lim Tiap Kasih Remadja Di Sungai Telaga Kangouw Ai Keng Saduran/Karya Wang Yu 1. Bayangan Pedang 2. Tangan Setan 3. Lembah Walet Terbang 1. Botjah Sakti 2. Kitab Mudjidjat 3. Menara Hantu Selamat Pulang Neraka Seruling Asmara Saduran/Karya Wen Lung Pusaka Ke 13 Kun Gwan Tjap Sa Po Bu Lim Ki Siu Dendam Kesumat Dunia Persilatan Saduran/Karya Wen Wu Irama Penyabut Nyawa Im Jung Kiat = Irama Maut pd sampul - Khu Lung Sampul Maut Ang Teng Hiat Kiam Pedang Pusaka Gak Hui Thian Hia Tee It Kiam Telaga Darah Siat Mo Kiat Cerita Silat Lepas 13 Pendekar Rimba Hidjau Bu Lim Sip Sam Kiam/ Busur Emas Panah Perak Lim Hian Tjoe Tjhiam Tjhiu To Lo Kiam Bingkisan Jang Membawa Bentjana Boe Siang Kun = Hadiah Membawa Bencana - sampul Khu Lung Golok Maut Dari San See Bruce Loo Pek Liong To Budi Houw Lembah Penyabut Nyawa Cheng Pei Pei Manusia Baju Besi Chung Hong Sebuah Gelang Pusaka Po Tjhoan Ki Ilmu Ulat Sutera Thian Chan Pien Huang Yin Rahasia Si Penabuh Maut In Ko Tju Merpati Pedang Purba Kauw Tan Seng Bandjir Darah Di Pulau Neraka Hiat Sie Tee Gak Ta Kiam Hong Tangan Hantu Ie Giok Sam Hiap Kim Yong Riwajat Djago Silat - karya Xiang Kairan Siang Khay Yan Kwo Lay Yen Siluman Ular Lauw Ha Di Pedang Maut Li Ching Ilmu Golok Keramat Bu Tek Sin To Ling Lung = Golok Sakti - sampul Chin Yung Pendekar Burung Walet Lo Lieh Putri Raja LKH Darah Penebus Noda Soe Hay Kie Djien Toan Karya Sie Leng Hong OKTA Lonceng Merenggut Arwah Shie Lan lan Giok Siauw Pit Kip Seruling Pusaka Siang Koan Yeh Ilmu Silat Pengedjar Angin Toei Hong Hoat Soet Siasa Runtuhnya Siuw Liem Sie Siauw Beng Kitab Wasiat SOS Wanita Iblis Tjay Hwan Kie Pokiam It Leng Pedang Pusaka Buntung Pedang Berdarah Tiat Kiam Tju Him TSL = Pedang Darah Chin Yung Panggilan Maut Bu Kek Kiam Pedang Tak Berkutup Tudjuh Acherad Wen Yoe Cerita Silat Karya Lain2 ! Pada Cvr ditulis Lentera Maut Ang Teng Hek Mo Khu Lung Macan Terbang Naga Sakti Hui Houw Sin Liong Lanjutan Lentera Maut Khu Lung Cakar Rajawali Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti Chin Yung Rase Emas Chin Yung Tangan Maut Chin Yung Dendam Iblis Seribu Wajah Khu Lung Panji Sakti Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan Khu Lung Pohon Keramat Khu Lung Seruling Perak Dan Sepasang Walet Khu Lung Sian Ku Pokiam Pedang Pusaka Dewi Kayangan Khu Lung Karya Ong To Lok/Wang Du Lu /Wang Tu Lu Pentalogy oleh OKT terbitan Keng Po Ho Keng Koen Lun Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Po Kiam Kim Tjee Pedang Mustika Dan Tusuk Kundai Emas Kiam Kie Tjoe Kong Pedang Berkelebatan Dan Mutiara Berkilauan Go Houw Tjhong Liong Harimau Mendekam Naga Bersembunyi Thiat Kie Gin Pan Pendekar Besi & Djambangan Perak Kiam Boen Pek Giok Cerita Lepas Sioe Tay Gin Piauw Angkin Sulam Piauw Perak Tjie Hong Piouw Tjie Tian Tjeng Song Durhaka Cerita Lepas 8 Jurus Lingkaran Dewa I Penelitian Rahasia Wulin Xin Wen Jishi 8 Jurus Lingkaran Dewa II Sepasang Bayangan Dewa * 4 Opas – Pertemuan Di Kota Raja 1 – Wen Rui An 4 Opas – Misteri Lukisan Tengkorak 2 – Wen Rui An Bayangan Darah – Pho Bu Kek Kang Sin Kang Ching Ching Golok Kelembutan* Kisah Para Naga di Pusaran Badai I & II * Ksatria Negeri Salju* Laron Penghisap Darah – Tjan ID Pedang Sesat Pisau Kematian Pendekar Naga Mas – Yen To Si Pisau Terbang Pulang Liang Y L Serigala Dari Cabang Kunlun - Kwo La Yen Cerita Legenda/Sejarah Kuan Yin Te Tao – Kisah Dewi Kwan Im Lima Raja~Lima Jagoan Cun Ciu Beng Lauw Pang vs Hang Ie Pahlawan Dan Kaisar Zhang Fu SAMKOK / Romance 3 Kingdom Luo Guan Zhong, Sam Po Kong Sam Pek Eng Tay Zhang Hen Shui – Putri Ular Putih KARYA STEVANUS Dari mulut macan ke mulut buaya Kembang jelita peruntuh tahta 1 & 2 Kemelut tahta naga 1 & 2 Kota srigala Menaklukkan kota sihir Panglima gunung Pendekar naga harimau Perserikatan naga api Puing-puing dinasti Sekte teratai putih Teror elang hitam KARYA ARYANI W Golok naga terbang Iblis hitam mengguncang dunia Si manusia besi Utusan neraka KARYA BATARA Kisah Seekor Naga Pendekar Gurun Neraka Pendekar Kepala Batu Pedang Medan Naga Pendekar Rambut Emas Pedang Tiga Dimensi Sepasang Cermin Naga Istana Hantu Rajawali Merah Dewi Penjaring Cinta Golok Maut Naga Pembunuh Tapak Tangan Hantu Rahasia Genta Berdarah Putri Es Kisah Empat Pendekar Dewi Kelabang Hitam Playboy dari Nan King Playgirl dari Pak King Prahara di Gurun Gobi Kabut di Telaga See Ouw Mencari Busur Kumala Naga Merah KARYA ASMARAMAN S. KHO PING HOO Serial Bu Kek Siansu Suling Emas 1. BuKek Siansu 2. Suling Emas 3. Cinta Bernoda Darah 4. Mutiara Hitam 5. Istana Pulau Es 6. Pendekar Bongkok 7. Pendekar Siluman 8. Sepasang Pedang Iblis 9. Kisah Sepasang Rajawali 10. Jodoh Rajawali 11. Suling Emas dan Naga Siluman 12. Kisah Para Pendekar Pulau Es 13. Suling Naga 14. Kisah Si Bangau Putih 15. Si Bangau Merah 16. Si Tangan Sakti 17. Pusaka Pulau Es Serial Pedang Kayu Harum 1. Pedang Kayu Harum Siang Bhok Kiam 2. Petualang Asmara 3. Dewi Maut 4. Pendekar Lembah Naga 5. Pendekar Sadis 6. Harta Karun Jengis Khan 7. Siluman Gua Tengkorak 8. Asmara Berdarah 9. Pendekar Mata Keranjang 10. Si Kumbang Merah Pengisap Kembang 11. Jodoh si Mata Keranjang 12. Pendekar Kelana Serial Si Pedang Kilat Kisah Si Pedang Kilat Pedang Kilat Membasmi Iblis Serial Pedang Sinar Emas Kim-kong-kiam Si Alis Merah Ang-bi-tin / Bi-hong Sin-liong Pulau Tiga Naga Sam-liong-to Pedang Sinar Mas Kim Kong Kiam Serial Dewi Sungai Kuning Dewi Sungai Kuning Huang-ho Sian-li Kemelut Kerajaan Mancu Serial Gelang Kemala Gelang Kemala Dewi Ular Rajawali Hitam Serial Iblis dan Bidadari Iblis dan Bidadari Hwee Thian Mo Li Lembah Selaksa bunga Serial Jago Pedang Tak Bernama Jago Pedang Tak Bernama Bu-beng Kiam-hiap Kisah Sepasang Naga Ji-liong Jio-cu Pedang Ular Merah Ang-coa-kiam Pedang Pusaka Naga Putih Pek-liong Po-kiam Serial Si Naga Langit Kisah Si Naga Langit Jodoh Si Naga Langit Serial Mustika Burung Hong Kemala Mustika Burung Hong Kemala Kisah Si Pedang Terbang Pedang Awan Merah Serial Naga Sakti Sungai Kuning Naga Sakti Sungai Kuning Si Naga Beracun Serial Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Pedang Penakluk Iblis Sin-kiam Hok-mo, Tangan Geledek Pek-lui-eng Serial Pedang Naga Kemala Giok-liong-kiam Pedang Naga Kemala Giok-liong-kiam Pemberontakan Taipeng Serial Pendekar Sakti Bu-pun-su Lu-kwan-cu Pendekar Sakti Bu-pun-su Lu-kwan-cu Dara Baju Merah Ang I Nio-cu Pendekar Bodoh Pendekar Remaja Serial Pendekar Tanpa Bayangan Bu-eng-cu Pendekar Tanpa Bayangan Bu-eng-cu Harta Karun Kerajaan Sung Serial Raja Pedang Raja Pedang Rajawali Emas Pendekar Buta Jaka Lola Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Sepasang Naga Lembah Iblis Pedang Naga Hitam Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Sepasang Naga Penakluk Iblis Rahasia Patung Emas/Bayangan Iblis Dendam Sembilan Iblis Tua Serial Si Pedang Tumpul Si Pedang Tumpul/Kisah Si Pedang Tumpul Asmara Si Pedang Tumpul Serial Lepas Silat Mandarin □ Bayangan Bidadari □ Cheng Hoa Kiam □ Darah Pendekar □ Dendam dan Asmara Pokiam Bodjin □ Dendam Membara □ Dendam Si Anak Haram □ Dua Singa Betina Ouw Yang Heng Te □ Kasih Diantara Remaja □ Kang Lam Tjiu Hiap □ Kilat Pedang Membela Cinta □ Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan □ Kisah Tiga Naga Sakti □ Maling Budiman Berpedang Perak Gin Kiam Gi To □ Mustika Golok Naga □ Nona Berbunga Hijau Kunlun Hiap Kek □ Patung Dewi Kwan Im □ Pedang Asmara □ Pedang Keramat Thian Hong Kiam □ Pedang Tak Bernama Bubeng Kiam Hiat □ Pek I Li Hiap □ Pembakaran Kuil Thian Lok Si □ Pendekar Baju Putih □ Pendekar Bunga Merah □ Pendekar Cengeng □ Pendekar dari Hoasan Hoasan Tayhiap □ Pendekar Gila dari Shan Tung Shan-tung Koay-hiap □ Pendekar Pemabuk □ Pendekar Tongkat dari Liong San Liong San Tung Hiap □ Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek □ Peninggalan Pusaka Keramat □ Pusaka Gua Siluman □ Rajawali Lembah Huai □ Sakit Hati Seorang Wanita □ Sepasang Rajah Naga □ Si Naga Merah Bangau Putih □ Si Rajawali Sakti □ Si Tangan Halilintar □ Si Teratai Emas □ Si Teratai Merah Ang Lian Li Hiap □ Suling Pusaka Kumala □ Tiga Dara Pendekar Siaulim Siaulim Sam Li Hiap □ Wanita Iblis Pencabut Nyawa Toat Beng Mo Li Sypnosis[] Daftar Isi[] Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 tamatH Cover Penampilan[] Konten komunitas ada dibawah CC-BY-SA atau ada pernyataan lain. Wajah Hek-mo-ong tidak berubah, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong. “Hm…” Ia mengeluarkan suara dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong habis kau mau apakah?” “Hek-mo-ong, kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesukamu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak lagak?” “Li Kong Hoat-ong, apa kehendakmu?” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut. “Tinggalkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” kata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan di tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri! An Lu Shan hendak mencegah akan tetapi sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang telah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong! Li Kong Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengar suara keras lain. Daun pintu itu telah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan kiri! An Lu Shan dan An Lu Kui cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat telah terkena sambaran potongan dan pecahan daun pintu ini sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga! Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapakah yang dapat dan berani memisahkan mereka? Yang nampak hanyalah berkelebatnya pedang dan tongkat di kedua tangan Li Kong Hoat-ong, dan tubuh Hek-mo-ong berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali. Sebentar saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena biarpun dia bertangan kosong, namun tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar! Kwan Cu yang tadi terlempar oleh tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok, berkat tubuhnya yang kuat, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun. Gui Tin cepat menyingkir di pinggir karena gentar melihat pertempuran yang dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat. Anak ini telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biarpun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini! Ia diam-diam merasa gembira sekali dapat menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya, dan biarpun dia merasa ngeri juga, namun dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu. Setelah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk merobohkan lawan tak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa pukulannya saja. Li Kong Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja, pada saat dia membacok dengan pedangnya dan berbareng mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang menyerang dan melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar situ, semua merasa seakan-akan lumpuh! Berbareng dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya dipukul tongkat! Terdengar suara keras ketika tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa kepalanya agak pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang menjadi patah dua! Sebelum Li Kong Hoat-ong hilang kagetnya, Hek-mo-ong telah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya telah remuk terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah tubuhnya roboh terlentang! Keadaan menjadi sunyi, lalu dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak seorangpun berani bergerak. “Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong. An Lu Shan maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini, akan tetapi dia tahu bahwa apabila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin itu saja yang tahu bahwa dia telah mempelajari ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan gagal! Oleh karena itu dia lalu menjura dan berkata, “Lo-enghiong, kami takkan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sesungguhnya masih banyak sekali penjelasan mengenai terjemahan yang kami perlukan dari padanya? Kalau kami sudah selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami yang sudah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.” Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan. Biarpun kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi kalau harus membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas dia akan kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah berada di tangannya, mengapa dia harus tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya. Setelah berpikir demikian, dia mengangguk. “Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena telah kesalahan tangan membunuh gurumu, akan tetapi seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.” “Tidak apa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lazim dalam pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan. Kembali Hek-mo-ong tertawa, kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini, akan tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat keluar dari rumah itu. Ketika dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu telah terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Ia merasa girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya. Mengapa An Lu Shan berlaku demikian lemah? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak demikian bodoh untuk mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong takkan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat. Kalau tangan Hek-mo-ong sudah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik, mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Kalau iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu. Dan dia sengaja menahan Gui Tin, karena selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biarpun kitab itu sekarang berada di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan! Maka setelah Hek-mo-ong pergi, segera An Lu Shan mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi. Akan tetapi, berturut-turut setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan. Pada keesokan harinya, baru saja dia dan yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruang tengah, tiba-tiba datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw pertapa wanita yang amat galak memaksa masuk ke dalam benteng dan siapa saja yang menghalanginya, dirobohkan dengan amat mudah! An Lu Shan dan An Lu Kui diikuti oleh beberapa orang perwira tergesa-gesa keluar. Alangkah kaget mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi. Tangan kiri menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Ia berjalan maju terus dan tiap kali ada prajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting itu kepada prajurit yang menghadang dan prajurit itu roboh sambil me-mekik keras dan ternyata bahwa prajurit itu telah tewas! Berdiri bulu tengkuk An Lu Shan menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apabila tokouw itu datang dengan maksud kurang baik. Sambil tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi langsung memasuki benteng dan menuju ke ruang besar di mana An Lu Shan duduk menanti. Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruang itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Ia melangkah masuk dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja. Setelah masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini cepat berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, terdengar seruang nyaring. “Eh, adik Ceng....! Kau di sini....?” “Heee....! Bukankan kau Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu. Kwan Cu yang kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang sudah banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura. “Dunia ini ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe-coa-li Suthai dari ujung selatan!” Tokouw itu nampak tertegun, lalu mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa lama, ia lalu tersenyum dan berkata dingin, “Hm, tubuhmu sudah reyot dan lelah, akan tetapi matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru satu kali ketika masih muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.” “Siapa dapat melupakan wajah dan bentuk badan Kui-bwe-coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui Tin sambil tersenyum pula. Sementara itu, ketika mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah Kiu-bwe-coa-li Ular Betina Berekor Sembilan, yang namanya amat terkenal dan ditakuti oleh semua orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga dia merasa betapa belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura dan berkata, “Ah, tidak tahunya Locianpwe yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon banyak maaf karena siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.” ... Tokoh itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. “Anak buahmu sudah menyambut baik-baik mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang mengharapkan sambutan? Aku bukan Kaisar!” An Lu Shan menjadi merah mukanya, akan tetapi biarpun dia disindir, toh hatinya senang juga mendengar bahwa tokouw ini tidak suka kepada kaisar. “Maaf, maaf!” katanya merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan Locianpwe ini membawa maksud mulia yang manakah?” “Tidak bermaksud apa-apa, hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Hm, ini hebat, pikir An Lu Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang pandai di dunia. Baiknya dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu perangnya. “Bagaimana?” tiba-tiba Kiu-bwe-coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya. Ternyata bahwa itu bukan ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan halus sekali. Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus tapi kuat dan merupakan senjatanya yang luar biasa. Karena tali-tali yang sembilan helai ini bergerak-gerak hidup seperti ular-ular kecil, maka dia dijuluki Ular Betina Berekor Sembilan! Satu saja dari sembilan helai tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang diperlihatkan tadi terhadap para prajurit yang menghadangnya cukup untuk membunuh seorang manusia. Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya kepandaian tokouw ini! “Locianpwe, sungguh kebetulan sekali dan kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte tidak kehilangan guru siauwte dalam urusan ini, tentu siauwte telah tertawa geli mendengar Locianpwe datang hendak minta kitab itu.” “Apa yang terjadi?” Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan sepasang matanya demikian tajam sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama. “Baru terjadi kemarin, Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kauminta itu telah dirampas orang dan suhuku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan orang itu.” “Lekas bilang, siapa yang merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli tentang kematian Li Kong Hoat-ong. “Dia adalah Hek-mo-ong yang tinggal di Hek-mo-san....” Secepat kilat Kiu-bwe-coa-li memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin. “Betulkah demikian?” Gui Tin hanya mengangguk dan diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw ini, apalagi setelah dia melihat bahwa tokouw ini telah membunuh banyak penjaga di luar benteng! Kiu-bwe-coa-li hendak pergi, akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng, telah melepaskan gandengan tangannya dan anak itu kini nampak bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki gundul. “Sui Ceng, mari!” seru tokouw ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu sehingga anak ini menggelundung seperti bola. Akan tetapi Kwan Cu cepat melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe-coa-li sambil berkata, “Kenapa kau begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid seorang galak! Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan kalau kau memperlakukan buruk padanya....” Melihat betapa anak laki-laki gundul itu yang didorongnya tidak apa-apa bahkan kini mengeluarkan kata-kata mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe-coa-li menengok dan memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini, pikirnya lalu ia berbisik kepada Sui Ceng. Anak perempuan ini berkata, “Engko Kwan Cu, guruku ini baik sekali kepadaku! Eh, aku ingin tanya, betulkah penuturan mereka tentang Hek-mo-ong?” Kwan Cu maklum bahwa tokouw ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan Gui-siucai, maka mempergunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan demikian, itu berarti bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Dalam sekejap mata saja anak yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini dapat menghubung-hubungkan sesuatu dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga! “Adik Ceng, biasanya, orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak yang tak dapat dipercayai. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti wataknya sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!” Sui Ceng tentu saja tidak mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang daripada pertanyaannya tadi, akan tetapi Kiu-bwe-coa-li merasa sekali akan sindiran yang amat tepat ini. Anak gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya! “Keparat gundul!” bisiknya dan sekali ia menarik tangan muridnya, dan menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah bayangannya dan lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari cepat keluar dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para penjaga! “Hebat....!” An Lu Shan berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!” Baru saja keadaan mereda setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas genteng, suara yang kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu saja!” Dan tiba-tiba genteng di atas ruangan itu pecah beterbangan dan tubuh seorang hwesio yang gemuk seperti gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng itu! Biarpun tubuhnya besar dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, namun ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama sekali tidak terdengar suara sesuatu, sungguhpun An Lu Shan yang masih duduk terasa betapa bangkunya tergetar dan dia terpental sedikit ke atas! Ketika semua mata memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman, bermata lebar dan misalnya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam seluruhnya, hitam arang yang membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu agak bersih kelihatannya. Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian tasbih, tangan kanan memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari logam kuning seperti emas. “Hek-i Hui-mo....” terdengar Gui Tin berkata dan hwesio ini segera menjura kepada sastrawan ini. “Gui-siucai, kau masih tetap muda. Ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga tak lama lagi pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, sama-sama mempelajari isi kitab!” Setelah suaranya yang halus mengeluarkan kata-kata ini, tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya ke depan An Lu Shan dan “brakk!” meja di depan An Lu Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biarpun dia hanya memukulkan perlahan saja. An Lu Shan terkejut sekali dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena bahwa dia berhadapan dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang telah menyeleweng dan yang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet aliran jubah kuning. Karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo Iblis Terbang Berjubah Hitam amat terkenal. “An-ciangkun, pinceng tidak mau membuang banyak waktu. Lekas kauserahkan Im-yang Bu-tek Cin-keng kepada pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat ketus dan galak, mengandung ancaman hebat. Akan tetapi An Lu Shan telah menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang bukanlah tokoh besar yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang mati-matian dan menyuruh keroyok oleh seluruh barisannya. “Hm, celaka sekali,” katanya, “mengapa aku sial benar-benar? Lo-suhu, ketahuilah bahwa kitab itu kemarin telah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru tadi Kiu-bwe-coa-li juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe-coa-li telah menyusul ke Hek-mo-san.” Seperti juga Kiu-bwe-coa-li tadi kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya. “Betulkah itu, Gui-siucai?” “Memang betul demikian,” kata Gui Tin. “Baiklah, kau beristirahat dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab itu, pinceng akan menjemputmu di tempat ini!” Setelah berkata demikian, sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu telah melayang naik dan menerobos melalui lubang yang tadi! Benar-benar hebat ginkang dari hwesio gemuk ini, maka tidak mengherankan apabila julukannya adalah Iblis Terbang! Celaka, pikir An Lu Shan. Benar-benar hebat sekarang ini! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah dikejar oleh demikian banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali! Sesungguhnya, yang mendapatkan kitab itu tadinya adalah suhunya, yaitu Li Kong Hoat-ong, maka setelah suhunya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu sudah menjadi haknya. Tidak tahunya, kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk mengambil kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, kini muncul tokoh-tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya daripada Hek-mo-ong sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah Gui Tin. Untuk apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup? “Ia harus mati!” demikian An Lu Shan mengambil keputusan. Kalau dia mati, biarpun seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, apa gunanya? Tak seorang pun selain Gui-siucai mengerti akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan hidup sehingga ada orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah itu berbahaya sekali? Sekarang dia telah mempunyai barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai, kalau sampai ada yang mengerti rahasianya dan kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan orang, bukankah itu akan celaka sekali? Sementara itu, terdengar Kwan Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring otaknya semua! Kitab palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui Tin membentaknya dan baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu banyak. Ia menyesal sekali dan mendekap mulutnya sendiri. Akan tetapi An Lu Shan sudah bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka. “Coba katakan, apa artinya ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?” Kwan Cu tak dapat menjawab, hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka lebar-lebar. ... Akan tetapi An Lu Shan sudah menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini, memang dia hendak mencari alasan untuk melenyapkan guru dan murid ini. Ia memegang tangan Kwan Cu dan menekannya keras-keras. “Hayo kau mengaku terus terang, benarkah kitab itu palsu?” Kwan Cu merasa tangannya sakit sekali, akan tetapi ketika dia mengerahkan tenaga lweekangnya yang selama ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, tiba-tiba An Lu Shan melepaskan pegangannya dan berteriak kesakitan, dari lengan anak itu seakan-akan menolak hawa yang panas sekali. “Keparat! Kau malah sudah mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus terang!” Kwan Cu hanya tertawa, dan suara ketawanya ini mengorbankan kemarahan komandan itu. Sekali dia mengayun tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya. Kalau menurut keadaan biasa, tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan tetapi, tubuh anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia tertangkis oleh Hek-mo-ong, tubuhnya membentur dinding. Anehnya, dia tidak apa-apa, karena ketika dipukul dia kerahkan dan dikumpulkan di bagian dada yang terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan terisi hawa yang kuat dan tidak terluka! Makin yakinlah An Lu Shan melihat keanehan ini. Ia lalu menubruk maju dan kini dia memegang lengan Gui-siucai. “Kau berbicaralah terus terang!” Akan tetapi Gui Tin menggeleng-gelengkan kepalanya dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An Lu Shan menggunakan tenaganya menekan dan terdengar suara “krak!” ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua ini berjengkit kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut. “Jangan kausakiti guruku!” Tiba-tiba Kwan Cu berseru keras dan sekali dia melompat, dia telah berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu Shan yang menekan lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang dari serangan Kwan Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali lagi Kwan Cu terlempar jauh. An Lu Shan sudah marah sekali. Ia memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras, “Tangkap mereka, rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!” Lima orang tentara yang biasa menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat disebut algojo-algojo, segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu sudah ditangkap, lalu diseret keluar! Seorang diantara mereka mengeluarkan sebatang cambuk hitam dan mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki seperti dua ekor binatang yang mogok kerja. Darah mengalir dari kulit tubuh mereka yang tertimpa cambuk. Tidak hanya pakaian mereka yang butut itu yang pecah-pecah, bahkan kulit dan muka juga pecah-pecah mengeluarkan darah. “Kwan Cu....” Giu-siucai mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang algojo yang memegangnya. “Carilah kitab aslinya, pelajari baik-baik, jangan seperti aku.... lemah.... kepandaian bu penting sekali untuk menghadapi orang-orang macam ini.” Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat sekali mengenai ulu hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya terhenti dan dia megap-megap seperti ikan dilempar di darat. “Kejam! Kalian ini bukan manusia. Kejam!” Kwan Cu meronta dan berhasil melepaskan diri lalu menubruk gurunya. Akan tetapi sebuah ketokan dengan belakang golok membuat dia roboh terguling dan dia telah dicekal lagi tangannya, dan dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi setengah telanjang! Gui Tin sudah payah sekali, dan juga betapapun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu silat, dia tidak berdaya dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui kematian di tangan para algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan untuk membunuh mereka. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi gembreng dan tambur di luar benteng dan masuklah serombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para penjaga. Penyiksaan terhadap Gui Tin dan Kwan Cu otomatis dihentikan dan An Lu Shan bersama An Lui Kui nampak tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang datang adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan pangkat An Lu Shan! Dari jauh Lu Pin melihat kakek dan bocah pengemis itu dicambuki maka begitu bertemu dengan An Lu Shan yang menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya, “Siapakah mereka itu dan mengapa dicambuki?” “Ah, Taijin. Mereka itu adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid yang mengaku sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan sebuah kitab kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab itu palsu adanya.” “Kitab kuno? Apakah An-ciangkun maksudnya bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Pucatlah muka An Lu Shan mendengar ini. “Ah, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab itu? Agaknya semua orang tahu akan kitab itu.” “Tentu saja. Siapa yang tidak mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua negeri ini? An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu? Kalau benar begitu, mengapa tidak kauantarkan ke kota raja?” Menteri tua ini memandang penuh curiga dan selidik. “Itulah Lu-taijin. Kami memang telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa ragu-ragu apakah kitab itu kitab yang asli, karena banyak kitab-kitab yang dipalsukan orang. Dan karena itu pula kami memerintahkan kepada sastrawan tua itu untuk menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan kitab itu dinyatakan palsu.” “Mana kitab itu?” An Lu Shan menarik napas panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah dirampas orang! Lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh kang-ouw daripada jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia lalu menuturkan bahwa kitab itu telah dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan menyatakan sayangnya. Lalu dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis yang disiksanya tadi. Setelah Gui Tin dan Kwan Cu diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin siuman dari pingsannya. Keadaannya payah sekali, akan tetapi begitu dia melirik dan bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan meludah ke atas tanah. Lu Pin memandang dengan penuh perhatian. “Ah, bukankah kau ini Gui-twako?” Gui Tin tetap saja membuang muka dan pandang matanya penuh hinaan terhadap menteri itu. “Benarkah kau Gui Tin....? Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” kembali Menteri Lu Pin bertanya dan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi disediakan oleh seorang pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin. “Aku tidak sudi berkenalan dengan manusia she Lu!” tiba-tiba Gui Tin berkata dengan suara keras dan marah sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia roboh pingsan! “Lekas tolong dia!” kata Lu Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong dan rawat dia baik-baik?” An Lu Shan menjadi kaget sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin, maka dia cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan Cu. Kemudian Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada di luar benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota raja ke tempat itu, akan tetapi karena merasa tidak enak untuk tinggal bersama keluarga dalam benteng dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng. Lu Pin lalu menyuruh An Lu Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk dirawat. Akan tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah siuman lagi, kecuali satu kali di tengah malam dan dia meninggalkan pesan kepada Kwan Cu bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. “Kwan Cu.” bisiknya di atas pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, jalan satu-satunya hanya membaca dan mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di hutan sion di lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah barat, asal kautanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai pengemis tua she Gui, tentu semua orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku menyimpan peti besi di bawah tanah. Bukalah dan kau carilah kitab sejarah yang tulisannya sama dengan isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Pelajari sejarah itu dan kemudian kaucarilah kibat itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan kekuatan selalu memegang peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan dan tenaga pula, kita tidak berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.” Kwan Cu mengangguk-angguk sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah terharu, akan tetapi melihat keadaan gurunya yang amat dikasihinya ini, dia merasa kasihan juga. Gui Tin meninggal dunia dan berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di dusun itu. Adapun Kwan Cu yang bersembahyang di depan makam bekas gurunya ini, merasa sunyi sekali. Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin. Setelah dia berhadapan dengan menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri ini benar-benar amat agung dan mendatangkan rasa sayang. Halus gerak-geriknya, seperti Gui-siucai dan amat peramah pula. “Anak, apakah kau murid dari Gui-twako?” “Benar, Taijin.” “Apa saja yang kaupelajari dari gurumu itu?” “Membaca, menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” jawab Kwan Cu terus terang. Mendengar jawaban yang lancar dan melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga. ... “Anak baik, siapakah namamu?” “Nama hamba Kwan Cu.” “Nama keluargamu?” “Hamba she Lu” Menteri Lu Pin tercengang. “Siapa orang tuamu?” “Hamba tidak tahu. Nama dan she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada hamba,” kata Kwan Cu terus terang. Mau tidak mau Lu Pin tertawa juga. “Ah, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she Lu kepadamu?” “Hamba menerima she Lu itu dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin Sin-kai.” “Ang-bin Sin-kai??” benar-benar Lu Pin terkejut. “Eh, anak baik, masih ada hubungan apakah antara kau dan dia?” “Tidak ada hubungan apa-apa, Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai ingin mengambil murid kepada hamba, akan tetapi hamba tidak mau.” Lu Pin tertawa gembira. “Dia orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh lagi. Dan namamu itu, Kwan Cu, pemberian siapa pula?” “Nama hamba diberi oleh seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.” Kembali menteri tua itu tertegun. “Ah, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih sekecil ini telah mengalami hal yang tak sembarangan anak dapat mengalaminya. Diberi she oleh Ang-bin Sin-kai, diberi nama Kak Thong Taisu, menjadi murid dari Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu, apakah kau tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?” Kwan Cu menggeleng kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi. Saudara-saudara hamba adalah semua manusia di dunia ini.” Kwan Cu menjawab sambil meniru ujar-ujar yang pernah dibacanya. Bukan main terharunya hati Lu Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan Cu mendekat, menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang gundul. Sebagaimana diketahui, Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang putra dan seorang cucunya amat tidak berkenan dalam hatinya. Kini melihat Kwan Cu, timbul sukanya. “Kwan Cu, marilah kau ikut dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu kesusastraan, dan sungguhpun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi kau akan berhasil dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap sebagai cucuku sendiri, Kwan Cu.” Terharu sekali hati Kwan Cu. Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan ramah tamah kepadanya, apalagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin ini. “Hamba boleh menyebut kong-kong kepada Taijin?” “Tentu saja, karena dalam pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.” Saking girangnya Kwan Cu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu dan tak tertahankan pula dua titik air mata mengalir turun ke pipinya yang kurus. “Kong-kong....” katanya. Lu Pin juga merasa terharu dan dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian, cucuku, dan besok kau ikut aku ke kota raja.” “Tidak, Kong-kong. Tidak sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kong-kong. Sekarang aku mempunyai tugas lain yang lebih penting.” “Tugas....?” Menteri Lu Pin membelalakkan matanya. “Kau....? Tugas apa dan dari siapa, cucuku?” “Tugas yang dipesankan oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah....” Anak ini menengok ke kanan kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Kembali untuk ke sekian kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas. “Memang kau seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku tahu bahwa orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau takkan mudah dibantah. Kau pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai kong-kongmu!” Setelah berkata demikian, Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada Kwan Cu, dan memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan mengganggu anak ini. Setelah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu bersembah yang lagi di depan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke Gua Liang-san untuk mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya! ** Dengan girang sekali Hek-mo-ong setelah berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak Hek-mo-san. Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan istri serta ipar-iparnya di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang semenjak bertahun-tahun yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di dalam kampung ini. Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya, juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar yang menyambutnya bersama istri-istrinya yang cantik. Istri Hek-mo-ong sendiri masih muda lagi cantik dan genit sekali. Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan, akan tetapi Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas membikin masakan yang enak, keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe-coa-li! Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!” Adik-adiknya dan ipar-iparnya, juga istrinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, maka mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka segera makanan dan arak disediakan dan mereka makan minum dengan gembira sekali. Setelah makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga. “Lihat, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!” “Twa-pek Uwa mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari saudara termuda. “Kau tahu apa?” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Peti itu hanya tempat saja, tentunya.” Karena tidak sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Dua orang adik Hek-mo-ong, ketika peti itu dibuka, menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu. “Ser! Ser! Ser!” berturut-turut, tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang An Lu Shan itu menyambar ke atas cepat sekali. Kalau bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu. Akan tetapi Hek-mo-ong telah memiliki kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri. Celaka sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tak sempat mengelak dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan. Tentu saja istri-istri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat kedua orang itu. Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi setelah dia mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi kegembiraannya. “Sudah, jangan menangis di sini. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian ini tak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti suami-suamimu.” Tak seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Sambil tertawa-tawa dan tidak menghiraukan perkabungan, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru saja dirampasnya itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa bagian-bagian tubuh itu merasa amat panas dan sakit. “Celaka.... keparat An Lu Shan.... aduh....!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu terlempar ke atas lantai. Istrinya dan ipar-iparnya memburu dan menubruknya. “Aduh....” Hek-mo-ong menjerit-jerit dan mulutnya mulai berbusa. “Awas.... peti itu.... jangan disentuh.... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa dan dia tidak bernapas lagi! Kalau orang lain, tentu sudah sejak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong, biarpun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama merobohkannya. Tentu saja istri-istri dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, menangis dan sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Ketika dua orang adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya! Keluarga itu dengan dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, lalu mengurus tiga jenazah itu. Peti hitam itu atas perintah isteri Hek-mo-ong lalu dibakar, adapun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati Hek-mo-ong di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar. Pada keesokan harinya, ketika orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya bergulung-gulung, datanglah seorang tokouw di tempat itu! Tokouw itu tangan kanannya memegang pecut berbulu sembilan helai dan tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng! Ketika Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan berkabung, ia mengerutkan keningnya. Adapun keluarga Hek-mo-ong segera menyambut tokouw ini, sebagaimana layaknya menyambut seorang pertapa wanita, yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati. ... “Silakan duduk, Suthai,” kata mereka. Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali. “Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara keren. Ditanya demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis. “Suthai yang mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi. Kiu-bwe Coa-li tertegun dan memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula. Karena tidak menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong menunjuk ke arah peti mati di tengah-tengah sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.” Dengan langkah perlahan, Kiu-bwe Coa-li menghampiri peti itu. Sui Ceng tidak senang melihat peti mati, maka sejak tadi ia telah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya dan kini anak ini duduk di atas sebuah bangku, memandang ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran dan kagum melihat hiasan-hiasan dalam upacara sembahyang itu. Kiu-bwe-coa-li mendekati peti mati Hek-mo-ong, lalu mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali dengan perlahan. Semua orang mengira bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang. Tak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan perlahan itu merupakan serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main! Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li masih tidak percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong. “Siapa yang berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong. “Mereka adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu. Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang hwesio gemuk berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama Buddha. “Omitohud!” Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah mendahului pinceng aku dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.” “Hm, Hek-i Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” kata Kiu-bwe Coa-li dengan senyum mengejek. Hwesio itu yang bukan laih adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak. “Ha, ha, ha! Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!” Setelah berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Akan tetapi yang dipakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali akan tetapi Kiu-bwe-coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam Jarum Racun Hitam! Mulut hwesio ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira hwesio gemuk ini main sulap. Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati! “Sebelum mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah peti itu ditaruhnya? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong. “Peti celaka itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!” Terdengar seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo telah bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali. “Dibakar??” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali. “Dan isinya, kitab itu.... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam. Kalau nyonya itu menganggukkan kepala, tak salah lagi ia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang tokoh kang-ouw yang mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan kepalanya lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. “Itulah dia kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.” Tubuh Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu, akan tetapi tahu-tahu di dekat kibat itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum! “Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya. “Kiu-bwe Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tak boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!” Dua orang tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam, keduanya sama jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim serangan. Adapun keluarga Hek-mo-ong, ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sesungguhnya sama sekali bukanlah orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan sebaliknya adalah orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik dan makin bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di situ menjadi gaduh sekali. Tiba-tiba terdengar suara orang mencela, “He, kalian ini apakah sudah gila? Menangis tidak karuan padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis, kalau tidak akan kutampar mulutnya siapa yang menangis!” Semua orang terheran dan kaget sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti biasa di dalam sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air mata buaya belaka, yakni tangis palsu asal keluar air mata saja untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar berduka! Yang menegur itu ternyata adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang tubuhnya kurus tinggi. Setelah semua orang berhenti menangis, kakek ini lalu bernyanyi! Dan suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup aneh! “Ah, Hek-mo-ong! Kau benar-benar amat berbahagia! Kau telah kembali ke asalmu semula, tidak seperti kami yang masih menjadi manusia! Ah, kau benar-benar berbahagia, Hek-mo-ong” Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo yang tadinya saling pandang dan telah bersiap-siap untuk memperebutkan kitab di atas meja sembahyang itu, berubah air muka mereka ketika melihat pengemis kurus kering ini. “Ang-bin Sin-kai, kau juga datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li menyindir. “Ha-ha-ha, tua bangka dari timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk, tentu datang anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir akan tetapi baik dia maupun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi mengawasi gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis tua itu mendahului mereka mengambil kitab di atas meja! “Kau benar, Setan Hitam! Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh dalam tanganmu yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja. Tiba-tiba menyambar angin keras dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh Hek-i Hui-mo, seperti “menggelundung” datang! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Tiasu, tokoh pertama dari selatan. “Omitohud, bakal ramai sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar jelalatan ke kanan kiri. “Pengemis bangkotan, kau juga sudah di sini?” katanya kepada Ang-bin Sin-kai. Pembaca tentu masih ingat akan hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia sudah muncul bersama Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai Laut Po-hai, maka tak perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai kepandaian hwesio gemuk ini! “Bagus, bagus! Dengan munculnya gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!” kata Ang-bin Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki bangku itu, matanya terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja sembahyang. Empat tokoh besar ini telah mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di antara mereka berani lancang bergerak mengambil kitab itu. Sudah jelas bahwa mereka semua datang untuk memperebutkan kitab itu, akan tetapi karena kitab itu berada di atas meja dan mereka berempat sudah berada di situ, siapakah yang berani lancang turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai memilih tempat duduk, karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat melelahkan. Tidak tahunya, akalnya ini diketahui pula oleh yang lain-lain maka yang tiga orang lagi pun segera menyambar bangku dan duduk! Empat orang itu kini duduk tak bergerak mengelilingi meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya. Masing-masing memutar otak mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu! Tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan helai itu menyambar ke arah meja. Ia hendak mengambil kitab itu dengan ujung cambuknya. Akan tetapi, sebelum pecut itu mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga menyambar dan menangkis pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i Hui-mo yang duduknya paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan menggagalkan niat wanita sakti itu! “Eh, eh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa terkekeh. Ketika Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga memandangnya dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua ini pun takkan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan. “Hem, berat nih....” pikir Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kanan kiri. “Apakah kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan mengambil kitab itu?” tanyanya. Akan tetapi, tiga orang kakek itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum. Benar-benar keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan empat orang kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja! “Bagus, baiknya aku belum terlambat!” tiba-tiba terdengar suara halus dan datanglah seorang kakek bertubuh pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di tempat itu. Semua orang menengok dan ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar dari utara! Adapun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng. Dua orang anak-anak ini sudah sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang tokoh yang kini duduk mengelilingi meja sembahyang, maka mereka tidak berani mendekat, lalu menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat anak perempuan yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil menonton. “Bagus, tua bangka dari utara sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba mengambil kitab itu. Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi Siangkoan Hai Si Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Melihat sekelebatan saja, dia tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab, karena kalau seorang mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka berempat itu berganti-ganti. ... “Heh, heh, heh! Dunia ini ternyata tak lebih lebar daripada setapak tangan. Tidak kusangka bahwa aku di sini akan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu dari selatan! Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat benar! Apakah seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis dan setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja kematian pula! Heh, heh, heh! Benar-benar orang yang berada dalam peti mati ini seorang yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati, tak mungkin dapat mengundang datang setan-setan dari selatan, barat dan timur!” “Eh, tua bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai. “Ha, ha, ha!” Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?” Disindir oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang lainnya memandang dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi, “Ingin aku melihat orang yang demikian mendapat kehormatan besar!” sambil berkata demikian, kedua tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti itu telah dibukanya! Semua keluarga yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, pergi dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu. Pemandangan yang nampak dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini telah menjadi hitam kebiruan. Akan tetapi sekarang, kepalanya telah pecah dan di ulu hatinya menancap jarum hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo! “Siancai, siancai....!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.” Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, berdiri menonton semua itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng dengan senyum yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata, “Guru kalian itu bertubuh kecil, akan tetapi berhati besar. Orang sombong seperti dia mana bisa mendapatkan kitab?” Mendengar ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas, menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa? Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!” “Huh! Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah. “Betulkah?” seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah dulu oleh tanganku?” Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu. “Suheng, mengapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri. Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suhengnya. Mendengar ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hati Sui Ceng merasa jauh lebih suka kepada Kun Beng daripada Swi Kiat. Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tidak mau membuang banyak waktu untuk menanti sambil memandangi kitab yang amat diinginkan itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang. “Lepaskan kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya. Siangkoan Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja tak boleh dipandang ringan, karena kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian Siangkoan Hai. Dengan kaget Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung! Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah terampas olehnya! Kiu-bwe Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak melarikan diri sambil membawa muridnya itu, akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo! “Enak saja kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li! Serangan hebat ini dapat mendatangkan maut, karena biarpun hanya berupa tasbih, namun senjata aneh ini bukan main lihainya. Merupakan segundukan sinar putih yang bulatan tasbih itu menghantam ke arah jalan darah di dada. Kiu-bwe Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan berpijarlah bunga api ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li tahu, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan terlepas dari pegangannya! Ketika ia menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya. “Jembel tua, kauserahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, sedangkan tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu! Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat! Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan biarpun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya, maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!” Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali. Empat orang yang menyerangnya, tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu? “Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan betul!” Ang-bin Sin-kai tertawa ha-ha-hi-hi-hi dan menduduki bangkunya yang tadi kembali. Empat orang yang lain, merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apabila dia memberanikan diri mengambil kitab, tentu akan diserang oleh empat orang lain dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorangpun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam! Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar lucu sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhunya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung. Dari sikap ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang sama, adapun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras. “Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat kepada suhunya. “Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang ini?” bentak suhunya dan Swi Kiat makin mendongkol. “Sayang kepandaianku belum sempurna. Kalau tidak, aku tidak takut menghadapi mereka!” ia mengomel. Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang kedua itu, yang lunak seperti air!” katanya. Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tidak karuan kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri dan maju membungkuk-bungkuk. “Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat. “Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar. Di antara lima orang tokoh yang aneh dan menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.” Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu memberi tanda kepada keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali agar jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan. Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu! Hari sudah mulai senja dan tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada urunya, “Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!” Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya, menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja dan dengan luar biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu terus dilontarkan ke belakang di mana muridnya berdiri! Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa jatuh kuenya sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh. Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat ia makan kue, ia melirik ke arah Kun Beng da tiba-tiba ia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng. Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka lalu berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini, akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan mencela kepada Kun Beng, “Suhengmu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!” Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.” “Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” Jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!” Ia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini. ... Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan Kiu-bwe Coa-li.! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti kau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!” Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka tidak senang. “Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?” Sambil berkata demikian, wanita sakti ini lalu bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.” Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?” Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras-keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, maka dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga. “Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas. Inilah senjata yang lihai sekali dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas berwarna hitam dan putih. Ia memiliki ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hwat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng. Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, ia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya. Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai. “Nanti dulu!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!” “Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam. “Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan kedua!” Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia lalu melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat! “Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.” “Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” tanya Jeng-kin-jiu sambil tertawa lebar. “Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biarpun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis nafasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan kedua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.” “Hm, hio terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ang-bin Sin-kai garuk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.” Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang. “Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan! “Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya. Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dipergunakan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali dipergunakan untuk menangkis. Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka biarpun digerakkan oleh pemegangnya dengan pengerahan tenaga dalam, ketika tertangkis oleh kipas yang mengebut, lalu bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat, dan cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam dengan mengerahkan tenaga gwakang. Wanita sakti itu cepat mengelak dan ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan! “Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang kawan berhantam! Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu biarpun hanya bergagang satu, akan tetapi karena ujungnya mempunyai sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai. Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya dapat di gerakkan sehingga menimbulkan angin berputar dari mana pun juga bulu-bulu cambuk itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawan sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Adapun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li. “Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu. “Tak mungkin! Guruku yang akan bikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat. Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!” “Ssttt……! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan menang.” Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin- jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus. “Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan……! Ah cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!” Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai melompat mundur dan menahan senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya. “Kau hebar Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya. “Dalam babak kedua kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya. “He, jangan begitu bernafsu dan murka, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.” Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi. “Eh, eh, aku dulu!” kata Ang-bin Sin-kai kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?” “Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!” Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo. Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan serem dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi. Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya luar biasa. Meja sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai tergerak-gerak, lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling! Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yag berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut! Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga bertenaga besar dan Tongkat Kepala Naga Liong-thouw-tung di tangan kanannya, ditambah lagi dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu. Berkali-kali terdengar suara “tang-tung-tang-tung” dibarengi bunga api berpencaran kesana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya. Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang terdidik ilmu semenjak kecil dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang, apalagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan. “Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru. Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu. Kedua orang hwesio itu “menggelundung” mundur dan saling menjura. “Omitohud! Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa kewalahan menghadapimu,” kata Hek-i Hui-mo. “Omitohud! Kalau dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat daripada tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji. Ang-bin Sin-kai setelah duduk kembali, nampak termenung dan diam saja, agaknya sedang memutar otaknya. “Eh, pengemis bangkotan. Hayo maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira. Memang kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras. Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua telah melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita telah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.” Semua orang memandang heran. “Eh, apa maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apakah kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li. Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pertempuran adalah baik sekali untuk menambah semangat dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita berebut kitab itu? Kitab sekarang tiada gunanya lagi!” Mendengar ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Baru terbuka pikiran mereka dan mereka saling pandang dengan tertegun. Sambil tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri, siapa diantara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!” Ia mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan di dalam kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya di halaman depan ditulis dengan huruf besar dan jelas “IM-YANG BU-TEK CIN-KENG”, akan tetapi selanjutnya tak dapat sehuruf pun yang dapat mereka baca. “Ha, ha, ha!” Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang dapat membaca huruf pertama ini?” Semua orang memandang. “Huruf BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Bukan gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali. “Aku tahu! Anak kecil itu……” kata Kiu–bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui Ceng, siapa namanya anak laki-laki Gui-suicai itu?” “Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui Ceng ... Muka Ang-bin Sin-kai merubah, “Anak kecil itu mana mengerti?” “Belum tentu!” kata Hek-i Hui-mo. Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari dari gurunya!” Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi! Ang-bin Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Biar mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.” Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Semua barang di atas meja itu telah di lemparkan, kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah. Lalu berangkatlah mereka. Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang “meja berjalan” ini berjalanlah lima orang tua yang aneh! “He, mengapa menjadi berat meja ini?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia membentak, “Bocah setan, jangan main-main!” Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut memanggul meja, melainkan ia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Oleh karena tubuhnya paling pendek, maka ia dapat bergantung sehingga boleh dibilang ia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benar-benar seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak! ** Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Biarpun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula oleh latihan-latihan samadhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang diterjemahkan oleh suhunya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian. Tadinya, ketika dia bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasakan kebahagiaan, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian setelah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin. Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini. Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Namun bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan. Kalau saja dia tidak memiliki hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis, dia keluar dari rumah pondok reot itu duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika dia memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar lagi berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya. Ia membuang muka dan tidak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang sudah rontok semua daunnya, tinggal cabang-cabangnya saja, membuat keadaan menjadi makin sunyi. Lu Kwan Cu duduk dan tangan kirinya menunjang dagunya. Ia duduk termenung, tak bergerak seakan-akan telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih. “Betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang mempergunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi di mana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.” Selagi dia duduk termenung, tiba-tiba dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan. “Itu dia……!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei……Kwan Cu…..!” Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu. “Adik Ceng….!” teriaknya girang. Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang dikenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkannya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik. “Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang. “He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” kata Jeng-kin jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula. Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis. Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini telah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu dan melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu! “Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah ingin bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja. “Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng. “Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai. “Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu itu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh dalam kitab itu, bukan?” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu penuh gairah. “Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li. “Lekas kaubaca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian. Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak bicara apa-apa, akan tetapi seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan kalau perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang di pergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. “Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi Tuan Berlima untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” kata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala dan memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan! Terengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam. “Apa katamu?” “Jangan bohong bocah!” “Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!” Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coako oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biarpun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja. “Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.” Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu takkan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!” Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya! “Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?” Lima orang tua itu saling pandang. “Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?” “Pinceng pun tahu, betul-betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis jaman Kerajaan Shia.” Berseri wajah Kwan Cu, “Eh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!” “Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur. “Karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!” Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa. Tiba-tiba terdengar bunyi suara “tar! tar!!” dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya! “Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!” Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi. “Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu. “Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li dan ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh! Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata, “Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi. ... Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang tua yang lain sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata kini anak gundul inilah yang diperebutkan! “Di mana kitab aslinya,” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas jangan membohong.” “Siapa perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?” kata Kwan Cu jengkel. “Guruku Gui Tin pernah menyatakan bahwa memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang amat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!” Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, namun melihat ketabahan dan keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, benar-benar luar biasa sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya. “Kau hebat, Kwan Cu…..” katanya. Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan keributan belaka….” Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja lalu melompat pergi! “Tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar. Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang kalau diulur terus ada sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa. Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai. “Trang! Traaang!!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu dihantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari. Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sebaliknya Kiu-bwe Coa-li dalam marahnya melakukan serangan sepenuh tenaga. Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Tiba-tiba menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkangnya dan melompat jauh ke kiri. Terdengar suara keras dan ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo. Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biarpun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih menuju kepadanya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperi belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya. Hek-i Hui-mo cepat mengelak dan berloncatan namun tetap saja sebatang paku menancap pada pundaknya. Ia mengeluh dan menggigit bibirnya, lalu mempercepat larinya. Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apalagi pada saat itu, bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu? Apalagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu. “Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” kata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak itu?” “Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah sejak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.” “Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan dan kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha, ha, ha,!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.” Ia hendak membawa pergi Kwan Cu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan akupun tidak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga padanya. Siapa tahu kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau berpura-pura mengambil murid kepadanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan laki-laki macam kau!” “Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai. “Anak ini harus dibunuh! Dengan demikain, barulah adil namanya kalau kita saling berlomba mencari kitab itu, tanpa bantuan siapapun juga.” “Betul, betul!” kata Siangkoan Hai. Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapapun juga, pinceng juga termasuk orang yang telah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya direnggutkan orang? Apalagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya. Baiknya diatur begini saja. Percayakah kau akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?” “Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas. “Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?” “Biar dia bersumpah bahwa dia takkan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu. “Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.” Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya. “Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.” Ang-bin Sin-kai membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Eh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?” “Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu. Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biar aku bersumpah bahwa kalau aku mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, biar aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian disambungnya kata-katanya ini dengan suara menyindir, “Andaikata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?” Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia “menggelundung” pergi dari situ. “Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh. “Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian kakek angkatnya. “Apa itu?” tanya gurunya. “Uang emas, Suhu.” Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan terbelalak matanya melihat uang emas sebanyak itu. “Eh, darimana kau dapatkan uang ini?” “Dari Kong-kong Kakek!” Makin tertegun Ang-bin Sin-kai mendengar jawaban ini. “Bocah aneh, siapa kong-kongmu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudra luas saja?’ Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!” Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali. “Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.” “Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?’ Kakek itu melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!” “Sayang, Suhu.” “Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhumu?” “Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Daripada dibuang disini, kalau ditemukan orang hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. Bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?” Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia daripadaku. Sesukamulah.” Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika dia melihat betapa muridnya yang gundul itu dapat mengikutinya,dia mempercepat jalannya. Dan biarpun gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja kelihatannya, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk berlari cepat mengimbangi kecepatan suhunya! Di pinggir sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak pemandangan yang amat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang ank laki-laki berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah! Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan sehingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini tidak bergerak dan kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri! Adapun di bawah pohon, bersandarkan batu, duduk seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan. Pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apalagi kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya. Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular dan tangan kirinya memegang tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya dan dari dalam mulut keluarlah suara mendesis-desis dan menebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini? Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, adapun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah menjadi gila, menggantung muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula? Tidak demikianlah halnya. Setelah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka menuju ke bukit Liang-san. Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli, maka dia pun tidak mau banyak bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu. “Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?” tanyanya. “Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.” “Hm, seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji. “Kemudian, teecu menurut petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.” Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah baca semua isi kitab palsu itu?” Kwan Cu mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari.” “Coba kau tidur terlentang,” Gurunya memerintah. Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang. Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kaudapat dari pelajaran kitab palsu.” Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Ia merasa dadanya sakit, maka dia lalu melepaskan tenaganya itu. Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu. “Sakitkah dadamu?” Kwan Cu mengangguk. “Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ah, benar-benar kitab palsu, akan tetapi kalau ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apalagi aslinya. Kwan Cu, kau telah mempelajari ilmu yang salah, maka kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani dan harus melakukan latihan napas samadhi secara terbalik.” Kemudian, semenjak hari itu, Kwan Cu diikat kedua kakinya, ikatan itu lalu digantungkan pada cabang pohon sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong! “Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan menyehatkan paru-parumu yang sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu agar aliran darahmu tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena aliran darah yang banyak di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!” Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih hebat lagi, seringkali suhunya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan! Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian samadhi secara tergantung kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali, biarpun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya agar jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan pikirannya terang. ... Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Kini kalau dia hendak berlatih, tidak lagi gurunya membantu. Ia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, mengikat kedua kakinya pada cabang itu lalu menggantung dirinya! Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah tidur mendengkur dan Kwan Cu juga sebentar saja sudah dapat menyatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta. Baik guru maupun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun yang jahat sekali! Biarpun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tidur dan Kwan Cu tidak sedang bersamadhi dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah memiliki pendengaran yang amat tajam. Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu……..!” Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu! “Kwan Cu…..!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada lehernya. Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Ia tahu bahwa muridnya telah terkena racun gigitan ular! Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti takkan dapat ditolong lagi anak itu. “Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni dalam pusarnya,” pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu. Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang menggigitnya ini. Akan tetapi di situ tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara ialah dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya, kemudian dia akan dapat menyemburkan darah itu dari mulut ke mulut Kwan Cu! Demikianlah maka melihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung seperti mayat, dan kakek itu duduk ambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu. Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya, akan tetapi dia terus menyedot sehingga darah ular itu terkumpul kedalam mulutnya. Kedua pipinya yang kurus menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat di nampak menyeramkan sekali. Ular itu makin lama makin lemah gerakannya dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai melemparkan bangkai ular, lalu melompat lagi ke atas cabang. Ia menggantungkan kedua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya. Ketika dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya! Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum akan maksud suhunya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas dan biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!” Kwan Cu menurut petunjuk suhunya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya menghilang. Ang-bin Sin-kai menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular tadi. Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh muridnya tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai menurunkan tubuh muridnya. “Kau selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali mengapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah ular beracun itu.” Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu amat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.” “Mana mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko buah ular.” “Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!” “Hush! Kau kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun sejak dulu mencari belum juga dapat.” “Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu.” Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dahulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali. “Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku takkan begitu kebingungan seperti orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang manapun juga!” Maka setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih daripada tenaga yang didapatnya dari latihan menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini adalah tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong. ** Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid dari Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak ia meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggauta Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, maka timbul didalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat. Ketika masih kecil, Ong Kiat ini adalah kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara kedua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka. Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika ia menikah dengan Bun Liok Si, dan diam-diam ia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya. Kemudian Ong Kiat yang semenjak kecil juga belajar ilmu silat, menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu, mereka tak pernah saling bertemu lagi. Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasa, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap pendekar wanita. Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan Bunga Cilan Putih. Ia sering kali berpakaian putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias dengan setangkai bunga cilan. Loan Eng seorang diri menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali. Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya, dan biarpun ia sudah seringkali menghadapi orang-orang jahat dan bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat. ... Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidakamanan daerah ini. Banyak dusun-dusun telah kosong, ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah keadaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja. Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Ia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan ingin membasmi gerombolan itu sampai bersih! Loan Eng tidak tahu bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintainya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah ketika mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing. Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan berlompatan keluarlah anggota-anggota gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai Singa Sakti dan Sin Houw Harimau Sakti. “Nona yang elok dan gagah siapakah bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, adapun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah. “Tak perlu namaku diketahui oleh gerombolan-gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Kalau betul, berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.” Semua orang tertegun, karena tak mereka sangka seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai. “Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu katanya dengan mulut menyeringai. “Nona manis, walaupun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku takkan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!” Bernyala sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus. Sekali ia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan. “Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, kalau tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw! Sin Houw melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, tidak berani memandang ringan. Ia maklum dari gerakan ini bahwa pendekar wanita di depannya itu memiliki kepandaian tinggi, apalagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang. Cepat dia menangkis dan mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang orang terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan kepala rampok muda ini yang merasa telapak tangannya sakit! Ia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng dengan gerak tipu Hong-sauw-pai-hio Angin Menyapu Daun Rontok, sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya. Diam-diam Loan Eng harus akui bahwa kepala rampok muda ini tidak jelek kepandaiannya, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Namun ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng dan dalam beberapa jurus saja Sin Houw terdesak hebat. Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda dan sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat. Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya dan tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu. “Mundur…..!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh. “Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula. Mereka lalu berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras! Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Ia memandang bangunan di depannya yang kini nampak sunyi. Tak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun? Ia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan mempergunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan berpekarangan belakang luas sekali ini. “Hm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng. Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan banyak sekali menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja ia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biarpun ia sudah curiga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, ia tidak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu da beberapa kali bacok saja, sambil mengeluakan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh! “Syuuuuuut-syuuuut! Syuuut!” banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini, akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali dan setelah tadi merobohkan pintu, ia melompat ke samping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong. Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Ia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorangpun manusia. Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan, “Tangkap penjahat! Padamkan api….!” Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi ia tidak tertarik dan ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali. “Siapakah dia? Mengapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu. Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu sehingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam. Ia tidak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini telah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini. Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok lalu menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak terpegang oleh siapapun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas. Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang digerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apabila ada orang memasuki kamar dan terkena injak alat penggeraknya. Namun ia tidak takut dan melangkah terus! Baru dua tindak ia melangkah, agaknya ia kena injak alat-alat penggerak lagi yang di pasang di bawah permadani, karena tiba-tiba terengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk kearah perutnya, dan senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya! ... Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga. “Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya dan cepat ia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung, dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat ditendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Adapun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat dibabat putus dengan pedangnya. “Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kamu semua!” Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu? Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu, Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat daripada kawat-kawat baja yang lemas namun kuat sekali! Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Ia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya! Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia tidak boleh gugup menghadap bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji. Dengan pengerahan tenaga lweekangnya, ia berhasil dan kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi ia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi. Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa. “Ha, ha, ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha, ha, ha!” Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggota gerombolan ini sudah putus menjadi dua bagian pinggangnya! Dengan marah sekali Loan Eng lalu menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan. Ternyata dibalik pintu itu adalah sebuah ruangan yang luas dan di seberang sana ia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok kedua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain. “Jahanam keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar. Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tidak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, kurang hati-hati dan mengejarnya. Ketika pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba permadani yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang besarnya ada sepuluh kaki segi empat dan dalam sekali, hanya ditutupi luarnya dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya! Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan setelah terkena air, terus saja tenggelam! Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini dan ia tidak pandai berenang! Pada saat itu, air bergolak dan permadani tadi sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar! Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Sekarang ikan itu mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengar suara kain robek dan sebentar saja permadani itu cobak-cabik. Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah dan mumbul kembalilah dia. Cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tak pernah lepas dari tangannya. Biarpun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya. Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu! Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya mempunyai sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang! “Celaka,” pikirnya dengan hati berdebar. Kalau ia berada di darat, biarpun ada sepuluh ekor binatang macam ini, ia takkan merasa jerih. Akan tetapi, karena ia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini ia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi. “Betapapun juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas. Cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekangnya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biarpun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun ia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi! Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa! Loan Eng sudah bersiap sedia dan cepat ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyeleweng. Akan tetapi ia tidak mengira bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan! Sebetulnya, serangan ini bagi Loan Eng tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi, nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang, diputar depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam. Namun, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan robek semuanya pakaian Loan Eng bagian atas! Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup oleh pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga ia dalam keadaan setengah telanjang. “Bedebah! Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali, akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Seandainya ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang? Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya. Ia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya ia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat dan tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar karena perut ikan itu telah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu. Akan tetapi, air menjadi makin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Ia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya. Pada saat yang amat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang. “He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!” Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga ia tidak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang. Perlahan-lahan, tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana ia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri. Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika ia membuka mata kembali, cepat ia melompat dan pada saat ia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadi menutupi tubuhnya bagian atas dan dengan kaget Loan Eng melihat betapa tubuhnya bagian atas itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat ia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum! “Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka itu masih mengancam keselamatan kita.” “Ohhh……..” Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting direbus. “Kau……Ong Kiat…..? Bagaimana kau bisa berada di sini…..?” Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tidak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu. “Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakai pakaian kering ini dan kita bersiap menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, kemudian dia membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng. Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, ia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguhpun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Namun, ia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang yang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan kalau ada perlombaan berganti pakaian pada waktu itu, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian! ... “Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan. “Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku bersiap sedia selalu untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekalipun!” Berdebar jantung janda muda itu dan ia memeras rambutnya lalu digelungnya. “Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?” “Ya, aku melihat kau…..kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.” Dengan muka terasa panas biarpun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu. “Dan…kau…..kau melihat…..” “Apa, Loan Eng?” “…….tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!” Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang. “Ah, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.” “Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.” “Kau keliru! Setiap orang akan dapat mengatakan bahwa kau tiada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.” “Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni…. watakmu, masih baik seperti dulu.” “Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?” “Hanya pakaianmu!” Ong Kiat tertawa dan biarpun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali. “Memang aku telah menjadi piauwsu pengantar dan pengawal barang kiriman dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.” Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki. “Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu. Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namun Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi. Hebat sekali sepak terjang kedua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan. Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng, kemudian bersama Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorangpun dapat melarikan diri. Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng. Ong Kiat mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tidak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih. Lalu mereka membakar gudang sarang gerombolan itu dan kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Tak perlu kiranya diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng taihiap kepadanya. Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga. “Ong Kiat, di mana orang tuamu?” Ong Kiat menarik napas panjang. “Mereka telah meninggal dunia ketika di kota ini mengamuk wabah penyakit.” “Dan kau hidup sebatang kara?” Ong Kiat mengangguk. “Apakah kau tidak…… tidak beristri?” Mendengar pertanyaan ini, merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng, kaukira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku takkan melanggar sumpahku!” Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali denganThio Loan Eng yang sudah dijodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si! “Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?” “Ah, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku…… aku telah membunuh suamiku sendiri.” Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ah, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?” Berseri wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tidak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali menolongku keluar dari dalam sumur?” Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus di antarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantar seorang keluarga, yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu. Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia lalu membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran pada bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia. Kemudian dia merobohkan beberapa orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Ia merobohkan dua orang anggota gerombolan dan yang dua lagi lari keluar. Maka tepat sekali kedatangannya dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya. Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan minta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali. Mendengar penuturan Ong Kiat, Loan Eng berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.” “Ah, mana bisa di bandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hidup berdua dengan puterimu, adakah harapan kiranya bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap sebagai anakku sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan. Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum ia dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam. Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biarpun suaminya telah meninggal dunia, namun andaikata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu. Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang amat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah dan bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini. Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andaikata ia menerima pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung, dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya daripada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi….. hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, di Tiongkok pada masa itu, adalah merupakan hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apalagi sudah mempunyai anak, untuk menikah lagi. Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya, dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?” Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah. “Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik…. Sedangkan aku……” “Hush Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.” Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan kini ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman. “Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?” Loan Eng mengangguk, “Bukan cuma itu, Ong Kiat. Aku telah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng karena cemburu. Kalau sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?” Ong Kiat mengerutkan keningnya, beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar itu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat, siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tidak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan takkan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.” Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Kemudian terjadi peristiwa penculikan Sui Ceng oleh anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, ngerilah hati Loan Eng. Ia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan yang amat dikasihinya itu akan benar-benar menjadi ketua dari Sin-to-pang! Maka ia lalu membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu. ... Ke manakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng? Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia. Ong Kiat menerima mereka dengan girang bukan main. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana sekali. Ong Kiat hanya mengundang kawan-kawan dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali. Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw pendekar wanita yang tua akan tetapi berwajah keren sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar kedua dari selatan! Pada waktu itu, Loan Eng sedang memeluk puterinya, sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng tidak mau keluar dari kamar dan anak ini marah-marah saja dan menangis. “Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut. “Sst, anakku. Bukankah paman Ong amat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.” “Ah, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!” Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar. Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng lalu melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian ia lalu bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur. Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah. “Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?” Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang ajar……!” Semua orang terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng berlari setelah tiba di depan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala. “Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian…….” katanya dengan suara amat menghormat. Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya. “Hm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni bukan datang hendak mengganggu, hanya untuk minta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagiaanmu saja?” Pada saat itu, Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh ini? Sementara itu Kiu-bwe Coa-li ketika melihat Sui Ceng, lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu telah melibat tubuh Sui Ceng. Sekali betot saja, tubuh anak itu telah melayang ke arahnya dan diterima terus di pondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang. “Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng. Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau kau ikut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!” Sui Ceng memandang kepada ibunya yang berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu ia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya. “Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!” “Bagus, hayo ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng. “Sui Ceng….!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar. Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara keren, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?” “Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia…..” jawab ibu ini. Kiu-bwe Coa-ii tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”. “Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng. “Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat. Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh. “Hm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” kata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng. Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tidak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu. “Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?” Setelah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!” “Ayaaa…….! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat. “Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggalkan oleh anakku?” Loan Eng mengeluh sedih. Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat-laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya. Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang telah menjadi muridnya. ** Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut. Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai Lu Sin. Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung dalam melatih ilmu silat. Ia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan. Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biarpun pelajaran ini menjemukan dan tidak menarik hati, namun Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi. Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu lari cepat, Kwan Cu benar-benar mendapat kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus-menerus baginya. Tanpa memberitahukan muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai makin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali. Kadang-kadang, di waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu dalam melompati jurang-jurang makin hebat dan makin lebarlah jurang yang dapat dilompatinya. Pada suatu hari, mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai tidur mendengkur sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhunya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang menggerak-gerakkan kedua telinganya dengan lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya dan mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi. Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu. Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia telah mempelajari Pek-po-coa-yang Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki. Akan tetapi, ketika batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan, menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu. Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap. “Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur dan tiba-tiba melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya. “Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga. Kun Beng membelalakkan kedua matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?” Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggeleng kepalanya. “Jauh sekali bedanya! Membunuh karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Akan tetapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!” Kun Beng tertegun. “Ah, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tidak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.” “Main gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran. Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat daripada batu-batu hitam yang keras. “Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak apa, pakai tujuh butir pun sudah cukup.” “Bagaimana cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng. “Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir ini aku membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu.” Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki. Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai pertama, terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu itu terkena benturan semua! “Bagus!” kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!” “Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus. Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.” Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu kalah selalu. ... “Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’ “Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?” Kwan Cu mengangguk. “Suhumu itu amat lihai dan terkenal. Suhuku sering kali memuji namanya. Dan suhengmu yang galak itu, siapa namanya?’ “Suheng bernama Gouw Swi Kiat, biarpun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas.” “Kau pun tentu lihai main kipas.” Kun Beng menggeleng kepalanya. “Aku lebih suka mainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhumu?” Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja. Eh, Kun Beng, kau mengapa bisa berada di tempat ini? Mana suhengmu dan suhumu?” “Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam hutan, dikelilingi pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suhengku datang.” Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sutenya. “Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di dalam hutan ini. Eh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu. “Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng. “Main kelereng? Ah, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?” “Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia pibu mengadu kepandaian silat?” “Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan kepandaiannya, dia mempunyai hati curang dan licik. Eh, Lu Kwan Cu, beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong. “Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati seorang bersalah, sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya. Memang, semenjak suhunya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya, dari kitab palsu, kini dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa disadarinya. “Mulutmu lemas sekali seperti perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak sambil mengejek. “Aku tidak takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala. “Bagus, kalau begitu mari kita mengukur kepandaian!” Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada! Biarpun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhunya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara pergerakan kaki dan kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi! Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah baik dan tinggi. Seorang laki-laki dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Maka, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat. “Buk!” Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan itu. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan seakan-akan kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi, hanya sebentar saja karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan buah coa-ko, ditambah pula latihannya lweekang tanpa disadarinya telah mencapai tingkat tinggi juga. “Kita tidak berkelahi, bagaimana aku bisa mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan kepalanya. “Eh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?” “Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!” “Suheng, jangan pukul dia! Dia benar-benar tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu mendengar suara Kun Beng mencegah suhengnya. Akan tetapi Swi Kiat sambil bertolak pinggang, berkata kepada Kwan Cu, “Hayo kau mengaku kalah padaku!” “Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?” “Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suhengnya itu. “Eh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?” “Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!” jawab Kun Beng. Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sutenya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sutenya ini dan tentu saja tidak mau cekcok dengan sutenya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu. “Kau pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu, yang memandang semua itu dengan matanya yang bersinar-sinar. Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus, “Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?” Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhunya. Di tengah jalan, dia berhasil menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhunya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya. “Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang. Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya. “Kwan Cu, kau membikin malu padaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kau membiarkan kepalamu yang gundul itu menjadi permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?” Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhunya ini tahu akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat? “Suhu, teecu tidak berniat berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasannya bagi teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu bisa membalas? Dia lihai sekali.” Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk membalas memukulnya!” “Akan tetapi, Suhu…..” “Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!” “Dia lihai, Suhu……” “Eh, kau takut?” Mata bocah gundul itu bersinar penasaran, “Takut?? Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekalipun teecu tidak takut!” “Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang, balas!” “Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan.” “Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?” Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan Kun Beng duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia memang seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa kalau tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapapun juga! “Eh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat yang memandangnya dengan mata terheran. Juga Kun Beng heran sekali sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Adapun Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ah, bukankah bocah gundul itu murid Gui Tin?” “Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe.” Jawab Kwan Cu dengan suara tenang. Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Eh, Swi Kiat, dia datang menegurmu hendak apakah?” “Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang hendak minta digebuk kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!” “Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!” Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa, akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?” “Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini akan membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang. “Kalau begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu. Bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang diapun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda. Melihat sikap Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Eh, bocah gundul, benar-benarkah kau murid Ang-bin Sin-kai? Kalau benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa sajakah?” Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhunya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka dipungutnya ranting itu dan dia menjawab, “Apapun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!” “Bagus! Eh, Kun Beng kaulawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!” Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir lebih baik melawan dia daripada menghadapi suhengnya bagi Kwan Cu, “Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, kalau kau roboh berarti kau kalah!” “Sesukamulah!” kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapapun sama juga, asal dia telah dapat menebus nama suhunya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu kubalas.” Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang semenjak kecilnya, Kun Beng lebih suka mempelajari ilmu tombak dan berbeda dengan suhengnya, dia mewarisi ilmu tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Awas senjata!” serunya dan Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang kesemuanya menyerang tubuhnya dengan hebat! Ia lalu menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekangnya memang sudah boleh juga, dia berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng. Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya, maka begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu! “Ha, ha, ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira. Sebaliknya, Siangkoan Hai menjadi melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang begini tolol? Ia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak genap! Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi. “Eh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang mempunyai perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat. “Menyerah kalah tak mungkin. Kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu membandel. Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia tidak bisa ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?” Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju. “Anak ini memang bandel dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu Suhu kalau tidak diberi hajaran. Eh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?” “Mengapa tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang. “Kau boleh menggunakan rantingmu, biar aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat. “Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga membuang rantingnya. Diam-diam Siangkoan Hai memuji. “Hm, anak gundul ini benar-benar memiliki sifat gagah, sayang sekali otaknya miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan sekali.” Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan dan tendangan Swi Kiat yang mengenai tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan asal menendang. Ketika dia menendang Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke belakang dan dengan suara keras tubuhnya mengukur tanah! Namun dia bangkit kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur. ... “Kau masih belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat. Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun pula, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali. “Cukup, Suheng!” kata Kun Beng. “Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu lagi. Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biarpun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat daripada baja dan tidak pernah merasa sakit? Kalau saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan serangannya, akan tetapi karena dia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali!! Memang seorang yang kalah dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan kelemahanmu!”. Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak melanjutkan serangannya. Adapun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata suhunya ini, merahlah mukanya. Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat dan kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar. Ia amat taat kepada suhunya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku mengaku kalah.” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuanmu ini, kau berarti menang! Seorang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah!. Orang menangkan orang lain tidak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Akan tetapi, kau telah dapat mengakui kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha, ha, ha!”. “Bagus, bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua ini bener-benar pandai menjadi guru. Eh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”. Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya, “Eh, jago tua utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai disini?” “Kau kira aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Biarpun kitab itu palsu, aku harus mengejarnya dan memberi hajaran kepadanya!” kata Siangkoan Hai. “Hm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?” “Ke neraka sekalipun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu saja?” Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa. “Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat tidak baik itu.” “Bukan muridku yang sombong, melainkan muridmu yang terlalu bodoh. Eh, Ang-bin Sin-kai, mengapa kau memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?” Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat kembali. “Biarlah dia bodoh, dan biarlah kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kaulihat lima tahun lagi. Kukira dua orang muridmu ini takkan mampu mempermainkannya seperti tadi.” “Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi kita adukan mereka, yang kalah gurunya harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang! Setujukah?” Berseri muka Ang-bin Sin-kai. Ia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali. “Jadi kalau muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin kepadanya. “Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?” “Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku kan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai lalu memberi tanda kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo takkan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan murid-muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu. Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya. “Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan. “Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah kau sudah dapat membela diri dan belum tentu dipermainkan orang.” “Mulai sekarang, teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.” “Hm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau menyakiti orang lain. Ini sukar sekali. Kalau kau belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!” Ang-bin Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhunya sampai malam tiba, Ang-bin Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikitpun tidak pernah bicara. Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir, peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan gurunya! “Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari di belakang suhunya. Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari telah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di bawah pohon. “Kau lihat ini baik-baik!” kata kakek jembel itu dan setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang! Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat dalam otaknya bagaimana tadi suhunya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan kanan kiri! “Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang Pukulan Tiga Lingkaran tadi!” “Teecu sudah melihat Suhu.” “Coba kau tiru gerakan Sam-hoan-ciang.” Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti gurunya tadi, dan sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi suhunya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya, lalu mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil, menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang! Ang-bin Sin-kai mengangguk setetlah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan tangamu sudah baik, hanya tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, jika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara “hah!” dan jika tangan kiri memukul harus berbunyi “heh!” Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ketiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?” Kwan Cu mengangguk. “Mengerti, Suhu.” “Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan tiga macam pukulan itu lakukanlah terhadap tubuhku! Mulai!” Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dengan perut kosong. Ang-bin Sin-kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya, dan melihat suhunya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Ia menyalurkan semua tenaganya, di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak, “Hah!” Ang-bin Sin-kai dengan gerakan sedikit saja dapat mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu menyusul dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang telah diisi dengan tenaga lweekang yang dipindahkan dari tangan kanan, menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah lambung suhunya dan mulutnya berbunyi, “Heh!” Kembali Ang-bin Sin-kai mengelak, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lalu menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Anak ini sekarang memukul dengan kedua tangannya, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhunya bagian bawah. Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, melainkan mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya! Ia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya. “Kakimu yang salah, kalau tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau mengapa aku selama ini mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan kuda-kuda? Karena ilmu silat, pokok dasarnya terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda, seperti bangunan berdasar kepada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi.” Ang-bin Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar menjadi tumbang! Kwan Cu merasa kagum bukan main. Setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai lalu duduk menyandar pohon dan sebentar saja dia telah tidur pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh. Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi dan kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebetulnya dia merasa lapar sekali, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Ia terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan! Makin lama, tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur tenaganya sedemikian rupa sehingga lambat-laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai pada titik yang tepat! Kalau tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong! ... Ketika Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya kakek ini girang dan kagum melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi! “Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya. Kwan Cu berhenti bersilat dan barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika suhunya memujinya, “Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali.” “Masih jauh, Suhu. Suhu tanpa menyentuh pohon, sudah dapat merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang pohon juga.” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biarpun luarnya lecet kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kaulihat!” Sehabis berkata demikian, kakek ini mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tangannya lecet-lecet malam tadi! “Harus kau ketahui bahwa ilmu pukulan Sam-hoan-ciang Pukulan Tiga Lingkaran mengandalkan tenaga lweekang. Kalau malam tadi memukul dengan tenaga gwakang dan mengandalkan kekerasan kulit tangan, kulitmu tidak akan lecet dan pohon ini pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenga lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi rusak, sebaliknya pohon ini terluka di bagian dalamnya! Oleh Karena itu, penggunaan tenaga lweekang tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!” Ang-bin Sin-kai melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan kirinya, diarahkan kepada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan “krakkk…..!!” pohon itu roboh! Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu.” “Bangunlah,” kata Ang-bin Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapatkan permainan baru. Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan pukulan pertama saja, dan kalau sudah mempelajari ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya mempunyai ilmu menyerang jika tidak mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat, kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya empat puluh bagian ilmu menyerang lawan. Di dalam setiap gerakan menjaga diri, tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!” Demikianlah, Ang-bin Sin-kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata suhunya itu masuk ke dalam kepala yang gundul itu. “Apa kau tidak merasa lapar?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya. Mendengar ini, berkeruyuklah perut Kwan Cu, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan suhunya. Merahlah wajah Kwan Cu mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tidak terdengar oleh suhunya. Akan tetapi, Ang-bin Sin-kai memiliki pendengaran yang amat tajam, jangankan suara perut, berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek itu. “Setelah latihan yang menggunakan banyak tenaga lweekang, tidak ada daging yang lebih baik melebihi daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya. Ang-bin Sin-kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu yang berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya amat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata, "Nah, itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkap yang paling gemuk!" Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon. Kwan Cu berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang besar sekali. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu kekuning-kuningan, lidahnya panjang berwarna merah, demikianpun matanya, adapun mulutnya lebar sekali. Berdebar juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguhpun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk menangkap yang paling kecil saja, agaknya amat sukar dan mengerikan, apalagi suhunya minta dia menangkap yang paling gemuk yang berarti ular yang paling besar! Namun Kwan Cu tidak merasa jerih. Apalagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu ditakutkan lagi? Ular-ular itu sebagian besar membelitkan tubuh mereka pads cabang-cabang pohon, dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh. Ketika Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak bernapas sama sekali. "Suhu, teecu akan menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang melingkar di bawah pohon. "Bagus, tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tidak berbisa. Makin besar, makin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam itu," kata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang. Suara suhunya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan hati-hati lalu mendekati ular besar itu. Biarpun tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu mulai hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu ditujukan kepada Kwan Cu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis. Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar masuk cepat sekali. Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia lalu melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, karena untuk bergerak dengan ilmu silat lain dia tidak bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk memukul, dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher ular! Ular itu gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri. Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Biarpun dia baru mempelajari Sam-hoan-ciang, namun kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus kedua yang dia pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam pancingan belaka! Ia tidak melanjutkan serangan bahkan cepat menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju bareng an tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakannya ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya. Ular itu marah sekali. Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya, meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram makin keras karena merasa betapa ular itu licin sekali. Tiba-tiba ular itu berganti siasat dan seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini telah dililit sedemikian rupa sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi. Kwan Cu terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Namun aneh sekali, tenaga ular itu makin lama makin hebat dan lilitannya makin lama makin erat. Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama dan tergulunglah Kwan Cu! Betapapun juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular yang licin, dingin dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan kepada lengan tangannya. Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya mengembung dan dapat menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu, tenaga pada dua lengannya berkurang. Sementara itu, ular tadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apalagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit. Sambil mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya! Kwan Cu terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang gundul itu gatal-gatal. Ia mengerti bahwa ini tentulah akibat daripada semburan uap yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini gatal-gatal. Rasa gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher ular untuk dipergunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu! Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan saja, cepat memberontak dan cekikan tangan kiri Kwan Cu terlepas! Ular itu lalu menggerakkan lehernya dan mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu dengan kecepatan luar biasa sekali. Akan tetapi Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri dan mulut itu meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan kedua tangan mencekik lagi dan pergulatan mati-matian terjadi. Kwan Cu mencekik sekuatnya, dan ular itu melilit perut dan dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali, terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang amat licinnya dan beberapa kali ular itu menyerang kepalanya yang dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat. Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal. Akhirnya ia mendapat akal dan sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa potong batu karang. Setelah mengambil sepotong batu karang yang besarnya seperti kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya. Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka setelah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tak dapat keluar kembali, terganjal oleh gigi atas dan bawah! "Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji. Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi, dan ular itu pun kini menjadi bingung sekali, menggerak-gerakkan kepalanya hendak melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama makin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ia menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu! ... "Hm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, biar setengah matang saja!" kata Ang-bin Sin-kai dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali menelan ludah. Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhunya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biarpun dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya. Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu, "Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu memiliki tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang tenaga dalam, memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan pernafasan untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau mempergunakan kekerasan, tentu ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau." Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhunya. "Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?" "Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok. Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya takkan mudah kau diserang lawan." Dengan girang Kwan Cu lalu mulai mempelajari Pai-bun-tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan dan melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to ini amat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata. Beberapa bulan lewat tak terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh dikata bahwa dia telah menyempurnakan ilmu Pai-bun-tui-pek-to, karena tidak seperti Sam-hoan-ciang yang mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini biarpun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung daripada kedudukan lawan menyerang. Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yakni mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Ketika mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari. Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota terdapat telaga kecil yang airnya biru dan dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai suka sekali pelesir di daerah ini, maka dia bermalas-malasan untuk meninggalkannya. Pada hari ketiga, ketika Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang tampan dan berpakaian perwira. Ang-bin Sin-kai tidak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya baik-baik. Apalagi, semenjak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentu sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan. Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi. Kwan Cu tidak tahu sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Adapun kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Kalau saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia sudah angkat kaki dan kabur. "Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhunya. "Mana dia?" "Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita." "Siapa sih orangnya?" "Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui." "Hm, dia mau apa?" "Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguhpun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan dua orang muridnya." Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira, "Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu." "Penguji bagaimana, Suhu?" "Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to, coba kau menghadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi." Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tidak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhunya perlawanannya adalah atas perintah suhunya, hatinya menjadi besar. Tak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, lalu menggandeng tangan suhunya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Pancingannya berhasil karena An Lu Kui melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, lalu mengejar! Setelah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhunya menengok ke belakang. An Lu Kui cepat berlari menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur. "Eh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?" Kwan Cu memang sudah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?" Tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya mendengar jawaban yang kurang ajar ini. "Bocah gundul! Ketika dulu mejadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi kemana?" "Ke mana pun aku pergi, tiada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to. "Setan cilik! Bukankah kau pergi ke tempat disembunyikan Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!" Tiba-tiba terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha, ha, ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!" Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. Tua bangka! Apakah matamu buta dan tidak mengenal orang? Kau berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!" Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!" "Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul. Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu Kui penasaran dan marah sekali. Sambil menggereng seperti seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya! Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah. Ah, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang! Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Adapun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja menghadapi serangan-serangan hebat ini, Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to, dia masih dapat mengelak dan menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernafas pun tiada kesempatan! "Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun-tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!" Kwan Cu maklum akan maksud suhunya namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk makin hebat itu. An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia. Celaka, keluh An Lu Kui, kalau aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh setan besar itu. Maka dia lalu mencabut sepasang siang-kek senjata tombak bercagak dari punggungnya dan memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya. "Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik aku mainkan Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai. Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhunya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu dan marah dipermainkan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya. Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhunya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhunya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhunya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to! Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui. Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi di waktu menghadapi serangan An Lu Kui dia terlalu gugup dan terlalu membuang gerakan sendiri. Sebetulnya kalau dia bisa tenang seperti suhunya, tak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan. ... "Kaulihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai kepada muridnya. "Buka matamu baik-baik, tiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kaugunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!" Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya tentang pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan kini setelah berada di punggung suhunya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia dapat melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali. Mendengar perintah suhunya, mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhunya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya. Sebentar kemudian terdengar suara "bak! bik! buk!" dan tubuh An Lu Kui selalu terpukul dengan tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil! An Lu Kui menyumpah-nyumpah. Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah "pintu terbuka" dari lawannya! Adapun Ang-bin Sin-kai bagi An Lu Kui seolah-olah merupakan manusia asap saja. Ke mana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak dapat mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biarpun tidak dapat melukainya, namun cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya. "Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru dan entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua tombak itu dan terdengar suara "krak!" patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang! Dengan tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, lalu berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan terheran-heran. "Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!" An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura dan berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?" Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit. "An-sian-seng tuan An, suhuku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" kata Kwan Cu yang cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti suhunya. An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Ia teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan sebelum sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai! Aah, orang-orang Han banyak yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak begitu bodoh dan dapat menghargai orang orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok? Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu dan kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dangan amat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin An Lu Shan benar-benar memperoleh kemajuan hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu. Adapun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, tetap saja jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia terhitung yang paling bodoh. Terhitung beberapa bulan yang lalu, menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang selain menunjukkan bahwa dia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali. Hal itu terjadi ketika mereka telah tiba di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan kepada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang di tempat ini dahulu terkenal dengan sebutan Gui-lokai pengemis tua she Gui. Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras. "Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!" Di depan Kwan Cu, muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bola tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai! Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasa, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya. Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Ia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhunya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhunya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja. Biarpun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika suhunya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong memiliki kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa sehingga dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali. Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu. Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, setelah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi bahkan ingin dia membalasnya! Akan tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya masih kongkongnya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini. "Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang. Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Lucu, lucu sekali. Ha, ha, ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha, ha, ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Eh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?" Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya. "Kenalkah kau pada pengemis kelaparan ini?" tanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu kepada muridnya. Juga Lu Thong menggelengkan kepalanya setelah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu." "Lu Thong, inilah Kong-kongmu yang tidak mau mengajar ilmu silat padamu!" kata Kak Thong Taisu. Terbelalak mata Lu Thong. "Ang-bin Sin-kai.....??" katanya perlahan. "Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek Uwa dari ayahmu!" Adapun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini. "Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?" Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan diapun amat cerdik. Ia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan pengemis tua itu. "Kong-kong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik. Biarpun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, namun melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya. "Bagus kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," katanya sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu. "Kong-kong, biarpun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kong-kong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kong-kongnya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?" Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-kin-jiu menegur muridnya. "Eh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kaudapat dari pinceng?" Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhunya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kong-kong, apakah ini salah?" Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. "Kau tidak mengecewakan menjadi cucu Lu Pin, karena kau memiliki kecerdikan. Ha, ha, ha, ha, ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, karena aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tidak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapapun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa! He, hwesio gundul, kau terimalah Kong-jiu-toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau takkan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu. Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru akupun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" ia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha. Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak cepat sekali seperti orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Akan tetapi setelah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya! "Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu. ... Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji anak Thong, sekarang coba, kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat hwesio bundar ini sampai berapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian dia menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!" Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhunya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda. "Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai-kong-jiu Tangan kosong Dari Laut Selatan!" kata Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira. Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan daripada pertandingan silat, seperti dua orang kakek yang sudah "nyandu" adu ayam melihat dua jago berlaga. Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya, dan dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena baru-baru saja Kwan Cu mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai dan juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya. Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, ditambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko buah ular. Kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja melatihnya kuda-kuda terus-menerus sehingga berdasar kuat sekali. Ketika Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serta-merta melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat mainkan Pai-bun-tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali. Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini dengan tekun dan menggembleng tangan Lu Thong dengan latihan-latihan memukul pasir panas. Biarpun usianya masih delapan tahun, namun Lu Thong telah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat! Kwan Cu berlaku hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia lalu mempergunakan tenaga lweekang. Ia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga. Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran dan mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai-kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk. Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biarpun ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to dapat dipergunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan biarpun dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, namun dia tidak sempat membalas serangan lawan. Cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang belum dipahaminya benar. Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong telah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal. Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tidak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak. Akan tetapi, sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Ia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!," "bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan gerakan muridnya. Kaki tangannya bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur. "Untuk apa kau mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi Tendangan Kaki Naga?" tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya. Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepat sekali. Menghadapi serangan ini, Kwan Cu tak berdaya dan dengan kerasnya sebuah tendangan mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah! "Ha, ha, ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!" Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhunya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!" Lu Thong mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata. Kwan Cu jauh lebih kuat dan kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu takkan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia senang melihat cara muridnya mengaku kalah. "Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun kemudian, kita bertemu lagi dan kita mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?" "Ha, ha, ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun kemudian kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita." "Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?" "Ha, ha, ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tidak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!" Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah sifat kesombonganmu, karena kalau kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu." Ketika mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin. "Baik, Kong-kong," katanya perlahan. Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya telah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tidak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan! ** Hek-i Hui-mo Iblis Tebang Baju Hitam setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, lalu melarikan diri secepatnya. Ia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu, bocah gundul itu bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, mengapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya? Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga dia membentuk sebuah perkumpulan agama di Tibet yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula. Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau lain orang tokoh besar menganggap tidak ada gunanya lagi kitab itu yang selain di anggap palsu, juga dianggapnya tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan lain. Ia tahu bahwa di Tiongkok, tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Ia mengenal pula nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tidak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu. Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu. Tu Fu di samping Li Po, adalah seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. Bahkan sampai di jaman atom ini masih terkenal hasil- hasil karyanya. Ia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat. Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, sedangkan ayahnya, pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, dia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik. Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang Tu Fu telah menjadi seorang perantau yang menjelajah di provinsi-provinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung. Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya seperti kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang sudah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali. Agaknya yang dapat hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu itu, sebelah dalam kelenteng, ada seorang manusia yang tinggal. Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakainnya, biarpun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat daripada tali hitam. Kumisnya hitam dan panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup sebuah topi butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya menonjol. Sepasang matanya lebar dan tajam sinarnya sedangkan dahinya lebar sekali. Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula. Di dalam penghidupannya yang miskin, kelaparan, ia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak juga menderita kelaparan seperti keluarganya! Semenjak itu, dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapapun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta! Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasa ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang bersamadhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata, "Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya. Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!" "Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" tanya pula Hek-i Hui-mo. "Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan keningnya. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri dan baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya, "Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini siauwte tidak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan." Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan lain orang? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, akan tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar. To Fu menerima pemberian ini dan menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku sudah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia daripada hidupku sebagai seorang sastrawan!" "Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat diusahakan dengan mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Kalau kau suka menerima jabatan, apakah lagi yang menyusahkanmu? Kau memiliki kepandaian tinggi." "Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebetulnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab. "Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang sebetulnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo. Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ah, Losuhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?" "Tu-siucai, pinceng tidak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan menolak." Hek-i Hui-mo biarpun terkenal kejam dan ganas, namun dia juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang biarpun kepandaian tinggi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan. Andaikata dia mempergunakan kekerasan memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya biarpun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi. Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua yang sudah banyak bertemu dengan orang-orang kangouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apalagi menolong seorang hwesio yang lazimnya menuntut penghidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong. "Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan lebih dulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i Hui-mo. Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci. Setelah tu Fu selesai makan, Hek-i Hui-mo lalu mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku bajunya, dan sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata, "Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Siucai tentang kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali. Maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?" Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue. Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya. "Hm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Sudah ribuan tahun usianya dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!" Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis di jaman Shia!" Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Lo-suhu, siauwte tahu betul akan hal ini." "Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"

cerita silat kitab sakti dalam gua